Pagi hari di terminal bis Rajabasa, Lampung. Firkan menatap nanar jatah sarapannya pagi hari ini. Satu sendok kornet, tak kurang dan tak lebih. Ia menelan ludah. Dudung sudah membagi jatah makan mereka masing-masing pagi ini yaitu satu sendok kornet.
“Kudu cukup nepi ke sore,” ujarnya tak mau tahu. Ya , apaboleh buat karena logistic mereka tinggal satu kaleng kornet untuk bertujuh.
“Dung, urang ge maraban ucing di imah dua sendok kornet..” gumam Firkan bernada protes pada danpur Dudung,” jaba ieu mah kornet na geus expired.”
Namun percuma berdebat dengan Dudung yang tegas dalam masalah dapur ini. Yang lain pun maklum saja, sambil meratapi nasib cacing-cacing di perut mereka yang hampir pasti mati kelaparan. Tiba-tiba Firkan merasa iri pada kucingnya yang kerap diberinya makan dua sendok kornet yang dicampur pulennya nasi hangat.
“Urang acan lapar, ke we sore dua sendok,” ujar Akuy sayu. Pagi ini ia merasa masih bisa mengandalkan puntung rokok untuk menahan lapar.
Wilman belum menentukan sikap, antara mengambil jatah sendok pagi atau dua sendok nanti sore. Ia menimang-nimang dengan seksama sambil mengisi perutnya kembali dengan air minum.
Sementara Bar tanpa ba-bi-bu , langsung mengambil sesendok kornet dan menelannya… glek..lalu tidur lagi. ‘Sore mah kumaha engke we’, pikirnya, ‘sugan aya nu tinggaleun nasi padang dina angkot’.
Tim pengembaraan yang terdiri dari Adjat, Akuy, Bar, Dudung, Firkan, Opik dan Willman sejatinya sedang dalam perjalanan pulang ke Bandung sehabis pengembaraan di Ujung Kulon. Akibat force majeur, rencana evakuasi mereka berantakan hingga harus terdampar ke Lampung Utara walau kegiatan pengembaraannya di ujung Barat pulau Jawa.
Petualangan kali ini membuat siapapun termehek-mehek. Di awal karir mereka sebagai mapala langsung ditohok dengan kenyataan pahit ( lihat Penelitian Kiss My Ass ). Mereka dipaksa belajar bahwa sebaik apapun rencana selalu harus siap dengan konsekwensi terburuk. Eforia mereka sebagai mapala yang berbekal berbagai teori dan skill teknis, langsung surut ke titik nadir kala ditampar badai. Mungkin tangan-tangan alam begitu gemas melihat hijaunya eforia mereka padahal mental petualangannya masihlah rapuh. Ia pun mengirimkan guru terbaik untuk mengajari mereka, badai samudera Hindia.
Moral tim hancur berantakan, berserakan di pantai seperti kapal pecah. Perlahan-lahan jam demi jam, hari demi hari masing-masing berjuang membangun kembali mental yang luluh lantak . Namun setelah hari-hari yang berat itu, setiap orang bermetamorfosa menjadi sosok yang baru. Ke manapun pergi kini mereka tak pernah sepolos itu lagi, dan telah siap untuk petualangan-petualangan berikutnya dalam skala full throttle.