Everything is dangerous, my dear fellow.
If it wasn’t so, life wouldn’t be worth living -Oscar Wilde
Pembahasan mengenai pengembaran ke UjungKulon semakin hangat dari hari ke hari. Namun dibandingkan membahas medan yang akan dilalui, Bar dan Opik lebih banyak membincangkan metode pengamatan yang akan dilakukan. Beberapa modifikasi pada variabel penelitian harus dilakukan, karena sebelumnya obyek penelitian dilakukan di kaki gunung Gede sementara kali ini akan dilakukan di pantai Ujungkulon. Demikian pula sebelumnya dilakukan di tengah masyarakat desa, sementara kami akan melakukannya ditempat terpencil tanpa interaksi dengan manusia. Bentuk-bentuk kertas kuesioner digonta-ganti hingga mendekati yang paling ideal. Kesibukan Adjat dan Firkan lain lagi, mereka membahas teknis fotograsi dan perlengkapan yang dibawa. Berapa film ASA 400 dan ASA 100 yang dibawa, tripod dan sebagainya.
“Lah..pira oge pengamatan di pantai..moal jauh kawas di Sancang” kata Akuy santai sambil memilih-milih pelampung yang akan dipakai untuk bersantai di pantai.
“ Mawa sepatu katak moal, Kuy?” tanya Bar.
“Celana pantai we cukup..jeung sunblock keur berjemur..Sip” balas Akuy.
“Aya buaya moal nya diditu?” tanya Dunga sambil menguap.
“Cenah mun digegel buaya mah make teknik si kancil we..” ujar Firkan.
Optimis menuju medan petualangan
Semua merasa yakin misi akan berjalan sesuai jadwal yang direncanakan. Mereka bahkan membawa serta beberapa pelampung untuk berendam santai di perairan dangkalnya.
“Paling lila saminggu pasti geus balik,” ujar Opik dengan yakin.
Pukul sebelas malam tim Ujung Kulon berangkat dari terminal Kebon Kelapa menuju Labuan. Semua berjalan lancar sesuai dengan mereka perkirakan. Rute dari Labuan, Sumur, hingga Taman Jaya dilalui dengan sempurna. Hingga di desa Legon Pakis semua tampak lancar. Di rumah panggung milik warga setempat, Opik dengan tekun mencatat penuturan warga yang mengeluhkan soal kesejahteraan mereka yang berada di tepian Taman Nasional. Adjat dan Firkan mengabadikan suasana desa di pinggir pantai itu sementara yang lain mulai mengisi kuesioner kelestarian lingkungan yang dibawa. Sedikit terlalu bersemangat, karena wilayah inti Taman Nasional belum lah dimasuki.
Setelah bermalam dengan nyaman di rumah penduduk di Legon Pakis pada hari pertama, hari berikutnya tim melakukan perjalanan seharian di pesisir dan hutan. Shelter-shelter sudah rusak tak berbentuk sehingga mereka mendirikan tenda untuk bermalam. Kali ini tim mendirikan camp di sekitar muara sungai Cikeusik. Malam yang cerah mereka lewatkan dengan suasana optimis akan menyelesaikan misi secepatnya. Semua tidur dengan senyum mengembang pada malam pertamanya di alam liar.
Dihantam badai
Namun hari berikutnya tiba-tiba semenanjung UjungKulon menunjukkan keganasannya. Anomali cuaca akibat pengaruh El Nino mendera pesisirnya. Baru saja bergerak meninggalkan camp, angin semakin kencang bertiup dari arah laut. Gerimis sebentar lalu hujan, dan awan hitam semakin mendekat dari lautan.
“Naha jadi kieu cuaca teh..” gumam Willman cemas.
Walau berusaha tenang semua merasakan pula kekuatan monster alam yang memicu adrenalin ini. Mereka mempercepat langkah menuju muara-muara berikutnya, namun tak pelak sapuan angin kencang yang basah menerpa dari arah lautan. Sambil berjalan di pantai, dengan miris mereka melihat gulungan ombak setinggi tembok menghantam pantai yang pecah hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari jalur yang dilalui. Bar dan Akuy benar-benar harus membersihkan kacamatanya setiap beberapa langkah karena tak dapat melihat dengan jelas akibat hujan lebat dan pasir yang beterbangan.
Cuaca membaik sejenak dan matahari bersinar kala mereka sampai di persimpangan Cibunar. Setelah beristirahat di pesisir Cibunar, mereka meneruskan perjalanan menembus hutan lebat menuju Cidaun di pesisir Utara dalam badai yang kembali menerpa. Hutan dan muara tiba-tiba berubah menjadi menakutkan, ketika binatang-binatang berkeliran. Banteng, babi hutan dan buaya menampakan jatidiri di wilayah kekuasaannya itu. Bahkan Firkan sempat dihajar oleh sekawanan tawon hingga memar-memar.
Sejak itu matahari tak pernah lagi menampakkan dirinya. Heaven turn into hell. Hanya awan dan hujan sepanjang hari, hingga membuat siapapun mendekati batasannya masing-masing dan hanya dengan saling menyemangati mereka tetap dapat terus bergerak.
“Kan, ieu jejak badak jigana,”ujar Adjat suatu saat menunjukkan sepasang tapak yang dalam di semak hutan.
“ Geuslah buru leumpang..baraseuh jeung carape kieu,” ujar Firkan terburu-buru berjalan seraya mengusap-ngusap bengkak-bengkak dikepalanya yang tersengat tawon. Yang lain pun tak lagi memperdulikan jejak atau obyek apapun. Kemalaman di hutan yang lebat bukanlah hal yang menyenangkan. Apalagi jalan setapak di hutan semakin tergenang oleh air sehingga makin sulit mencari arah yang benar. Kondisi demikian mengiringi perjalanan mereka selanjutnya berhari-hari.
Yang penting selamat
Bagi mereka yang belum lagi menanggalkan predikat mahasiswa baru di kampus, petualangan ini sudah mulai menyentuh titik nadir ketahanan masing-masing. Barangkali bila 2-3 tahun lagi saat mental sudah teruji di berbagai medan petualangan maka mereka akan dengan lebih relax mengatasinya. Namun kini seakan langit runtuh menimpa mereka. Di arena petualangannya yang pertama, alam seakan alam murka. Bagi mereka yang lebih penting kala itu adalah berusaha survive dalam petualangan. Dapat pulang dengan selamat pun sudah syukur. Penelitian kiss my ass..
Ada semacam rasa tak percaya kala dapat keluar dari petualangan ini. Lolos dari cengkeraman El Nino, tetap segar bugar setelah diintai macan kumbang dan buaya. Tak ada luka gores walau tunggang langgang hampir diseruduk babi hutan dan banteng liar. Lalu terjebak seharian di kawasan yang terkena gempa bumi dan longsor di Lampung Utara.
Tak banyak berkas penelitian yang tersisa saat pulang. Kertas-kertas sudah basah dan tak dapat dibaca lagi, objek foto banyak terlewatkan dan jadwal molor berhari-hari. Kertas kering yang tersisa, termasuk peta geologi, telah dilinting sebagai rokok, sehingga kala menulis laporan mereka hanya mengandalkan ingatan masing-masing.
Apakah kemudian penelitian mereka valid atau pengembaran itu akan memenuhi syarat? Sejujurnya tak seorangpun terlalu peduli. Ada tujuh orang yang melakukan pengembaraan kala itu, dan kala detak jantung setiap orang melebur menjadi satu irama dalam detak jantung sebuah tim itulah yang terpenting.