Dua anak sebaya keponakan saya itu memliki kemampuan melebihi anak sebayanya saat mengendalikan bargas – perahu bermotor dalam istilah lokal – mereka berbagi tugas, satu mengemudi dan satu anak lagi berperan menjadi pemandu arah perahu. Bila Nandang meminta ke kiri, maka Dodi mengarahkan perahu ke kiri, kerja sama itu diperlukan karena perahu yang membawa saya dan rombongan harus meliuk dan bermanuver diantara rumah apung dan seliweran perahu lain.
Begitulah mereka memamerkan skill kemaritimannya di hadapan saya. Dua anak seusia keponakan, satu bernama Nandang, dan satu lagi bernama Dodi. Khusus untuk dodi, nama yang sama dengan saya, Ia mengutarakan beberapa hal yang membuat saya takjub akan beban yang sedang dipikulnya, hingga ia harus tinggal kelas dua kali. Dodi mengaku harus mencari uang di setiap hari sabtu dan minggu atau hari tertentu ketika di lokasi danau cirata di sekitar desa Calingcing, Cianjur ramai pengunjung.
Baginya itu alasan kenapa ia tidak naik kelas, “boro-boro diajar atuh, mending milari acis, mamah kan teu aya nu ngabantu,” katanya. Ia memilih membantu ibunya mencari uang dengan mengoperasikan ‘bargas’ milik bapaknya yang kadang sibuk bertani di ‘darat’ dan menyerahkan bargas-nya kepadanya.
“Kadang kenging 200 rebu upami rame, tapi seringna mah 100 rebu ’” kata Dodi menjelaskan penghasilannya, yang ia akan beri ke ibunya untuk membantu ekonomi keluarganya.
Saya mengenal banyak anak di belahan lain pelosok negeri ini, dibeberapa tempat nasibnya lebih buruk dari Dodi teman dadakan saya ini, namun di pelosok lain lebih beruntung darinya. Beragam nasib anak keluarga-keluarga kurang beruntung tersebut, lebih baik atau lebih buruk, rupanya memiliki kesamaan tertentu, bahwa anak-anak di kalangan kurang beruntung adalah bagian dari ekonomi rumah tangga keluarga. Perannya kadang menjadi polemik tentang bagaimana semestinya anak diperlakukan dalam tumbuh kembangnya di masa depan.
Para aktivis hak anak akan memandang dodi dan nandang tak semestinya bekerja, ditempatkanlah mereka sebagai korban, yang harusnya fokus belajar dan bermain di usianya tersebut. Tapi kita harus bisa mendudukan fenomena tersebut dalam konteks kehidupan nyata warga di sekitar danau cirata tersebut, bahwa bantuan-bantuan kecil dodi dan nandang untuk orang tuanya sama pentingnya dengan ‘kelangsungan keluarga’ mereka.Bantuan kecil dodi dan nandang adalah pendidikan hidup yang akan bermakna bagi keduanya. Mereka akan lebih siap bertarung di masa depan ketika kehidupan datang padanya.
Saya justru bertanya, kepada anak-anak yang lebih beruntung dari keduanya, “cukupkah bekal pendidikan tinggi yang mereka dapat untuk menjalani kehidupannya di masa depan?”Lalu saya pun di bawa sandar, merapat kembali ke rumah apung tempat kami bermalam, hari masih pagi, lalu nandang, dodi, dan beberapa temannya nampak riang melompat ke danau, mereka berenang sama handalnya dengan skill mencari uangnya.
Disaat yang sama, keponakan saya, mungkin sedang bermain play station, atau sedang les bahasa inggris, atau sedang disuruh masuk rumah ketika hujan lebat diluar. Padahal mereka kadang ingin bermain hujan, berlarian diluar, dan kita demi kesehatan, menyuruhnya masuk ke rumah yang membuat keponakan kita hanya bisa mengintip di balik jendela. Di luar hujan turun lebat, namun di luar itulah belajar mengakrabi angin, berteman dengan air, belajar kehidupan. (catatan kecil saat Citarum Riverbank Photo Tour 2011 – Ronald Agusta Photography dan Yayasan Palawa Indonesia)