When the students are ready, the teacher will appear
Sudah lewat pukul sembilan malam, hawa dingin mulai merayapi jalan-jalan kota. Lampu-lampu di gedung kampus sudah lama meredup, tinggal cahaya gemetar dari lampu taman dan tempat parkir. Hampir tak ada pergerakan lagi di kampus Dipati Ukur, kecuali satpam yang sedang berjaga di pos. Itupun tak banyak, karena bila malam pos satpam yang aktif hanyalah disamping pintu masuk dari Jl. Hasanudin.
Menyisir kampus
Sebuah mobil kijang warna gelap tiba-tiba berhenti di depan pintu gerbang masuk Lapang Parkir Selatan kampus yang gelap oleh rerimbunan pohon. Dari dalam mobil kijang itu delapan orang berlompatan turun secara teratur. Beberapa memakai celana latihan beladiri, sebagian lagi memegang kayu dan dobel stik. Sudah jelas, ini adalah formasi tempur yang tak setiap saat terlihat…. Inilah tim Kobra, milisi siluman yang misterius itu, yang hanya dibicarakan dengan bisik-bisik halus dalam kegelapan.
Dua orang anggota tim membuka pintu gerbang lalu dengan caranya sendiri menahan satpam supaya tidak mengganggu pergerakan. Sementara sisanya segera berpencar menyisir pelosok kampus Dipati Ukur yang tidak terlalu luas, mencari sasaran yang dituju.
Selama lima belas menit berkeliling kampus kelompok sasaran ternyata tidak ditemukan. Rombongan pun kembali ke mobil yang segera bergerak tanpa menyalakan lampu. Setelah menjemput dua orang di pos satpam, mobil kijang langsung tancap gas ke arah Gasibu. Dalam cahaya remang di Lapang Parkir Selatan yang rimbun oleh pepohonan, sulit bagi satpam mengenali wajah-wajah dingin didalam mobil, yang diketahui hanyalah mereka tak datang untuk beramah-tamah.
Andai tim penyerbu itu menemukan sasarannya, kesunyian malam itu akan pecah dan berdarah-darah. Barangkali berita penyerbuan sudah bocor atau juga memang kebetulan saja kampus sedang kosong. Namun permasalahan tak menjadi selesai begitu saja. Masih ada hari esok untuk menuntaskannya.
Sel-sel militan
Siapakah mereka itu yang tiba-tiba berubah dari mahasiswa yang tidak banyak tampil di kampus lalu menjadi buas dan bagai haus pertarungan? Dari sosok yang low profile menjadi petarung yang militan. Dari keseharian yang cair menjadi formasi kumite yang frontal. Yang jelas mereka merupakan sel paling militan kala itu. Milisi Kobra teramat cair dimana tak ada jenjang angkatan, tak peduli apakah anggota biasa atau anggota muda, pengurus atau bukan tak masalah, bahkan simpatisanpun bebas bergabung selama syal kuning membuat darah mereka berdesir. When words failed, force play.
Sebuah keseharian yang tenang dapat berubah menjadi menit-menit yang frontal, bagai monster amarah yang menjelma tak tertahankan. Seperti gunung yang sejuk tiba-tiba saja meletus penuh kemarahan. Ada hawa militansi yang terpelihara dengan apik dan terestafetkan secara misterius. Aura militansi ini terwariskan dalam sel-sel DNA yang tidur dan mengendap dalam setiap generasi yang lahir di alam liar.
Mereka hanya dipersatukan oleh api yang menyala merah di matanya dan ketika kemarahan itu meledak tak siapapun dapat menghentikannya melainkan hanya menunggu mereda dengan sendirinya. Sungguhpun demikian, agresifitas itu adalah sebuah darkside yang terpendam dan hanya muncul spontan sebagai reaksi self-defense. Bagi darah muda ini mungkin provokasi, selorohan atau ledekan secara personal takkan mereka hiraukan. Namun ketika menyangkut syal kuning, sebuah emosi yang meledak tak lagi ditahan-tahan.
Siapakah masing-masing mereka itu? Beberapa barangkali menganggapnya semacam pasukan siluman seperti tim penggebuk Delta Force atau penjaga kewibawaan Garda Republik, yang bersumpah akan berada di barisan paling depan bila syal kuning terusik.
Mereka mungkin rekan yang sekarang ada di sebelah anda, rekan yang hanya sesekali saja nongol atau malah rekan yang tak pernah aktif sekalipun di perhimpunan. Bisa juga orang luar namun karena kerap berinteraksi maka menjadi milisi yang loyal. Bahkan bila anda merasakan darah yang berdesir kencang saat syal kuning terusik, tanpa disadari sangat mungkin… ANDA adalah bagian dari milisi ini! Siapa masing-masing mereka setiap orang tak akan pernah tahu hingga saatnya tiba.
Menjelma jadi banteng ketaton
Saya hanya dapat meraba motif samar-samar yang mampu menggerakkan para insan cinta damai itu bermetamorfosa menjadi kelompok militan. Sebuah rasa bangga, rasa cinta atau harga diri sebagai entitas, dan entah apalah lagi, yang tercampur aduk lalu kemudian terasa dilukai oleh pihak luar. Sebuah nilai sakral penuh perjuangan yang tak didapat dengan mudah bahkan kadang terlalu mahal dengan melihat rekan sendiri meregang nyawa. Sebuah nilai-nilai yang didapat dengan ikatan emosi mendalam sebagai saudara, kelelahan yang teramat sangat dan rasa haru yang tertahan sesak di dada. Terlalu sering saya merasakan mata yang berkaca-kaca dari rekan sejawat, berusaha menahan tetesan air yang ditabukan itu. Dari menahan haru yang memuncak hingga mengabaikan perih dan sakit tak tertahankan
Maka menjelmalah dari seekor kerbau yang biasa jinak dan santun menjadi banteng ketaton liar yang terluka lalu mengamuk. The Darkside yang selalu terpendam pun terbangkitkan. Terlepaslah kemarahan menghitam yang selama ini hanya bisa diredam oleh kewibawaan gunung-gunung yang tinggi dan kearifan gua – gua nun dalam di bawah tanah.
Dapatkah kiranya darah muda yang menggelegak mampu menahan emosi yang tumpah ruah bagai sungai yang deras arusnya? Darah muda dan emosi merupakan kombinasi yang ideal seperti api dan bensin. Di usia yang matang kita akan bisa dengan lebih arif menyikapinya karena lebih mampu mencerna makna dan simbol kehidupan, namun pada usia yang teramat hijau itu saya hanya bisa dengan getir berusaha memahaminya.
Sel-sel tidur itu akan tetap bersemayam di tiap genre yang lahir hingga kapanpun. Saya hanya berdoa semoga militansi demikian tetaplah sebuah sel tidur yang tak pernah mudah terbangkitkan.