Medik Darurat dr.WD

di pos III gunung Tamboraby Bayu Bhar

“ Benar  nak Wawan dari jurusan kedokteran..?” dengan terbata-bata penduduk lokal yang biasa kami sebut si Babeh itu sekali lagi bertanya.

“Pokoknya tenang saja Pak.. saya sering ke kedokteran mah,” ujar Wawan. Maksudnya tentu hanya lewat di RS Hasan Sadikin karena ia mahasiswa jurusan Antropologi.

“ Oooh begitu..” si Babeh agak tenang mendengar keterangan Wawan.

“Ta..tapi..itu pisaunya besar kali ya nak Wawan?” suaranya terdengar bergetar hebat  ketika melihat Wawan mengeluarkan sebuah pisau sangkur.

“Yang penting mah tajam pak.Tuh. lihat..” kata Wawan sambil memperagakan ketajaman pisau itu dengan menebas semak-semak di sekitarnya.

“Iya sih tapi…” dengan ragu-ragu Babeh mengiyakan. Dalam hatinya ia mengeluh disamakan dengan dedaunan oleh sang dokter.

“ Nah sekarang coba tengkurap pak. Ayo ..sepuluh hitungan!” tegas Wawan.

 

Operasi bisul sang dokter

Yang lain dengan susah payah menahan agar tidak tertawa melihat Wawan beraksi menjadi dokter. Rupanya Wawan yang paling tak tahanmendengar keluhan-keluhan si Babeh yang meminta tim supaya tidak bergerak terlalu cepat di kelebatan hutan. Padahal mereka justru ingin sampai secepatnya di desa.

Setelah diinterogasi rupanya si Babeh menderita bisul yang semakin membesar di betisnya sehingga membuatnya tak bisa mengimbangi pergerakan tim. Maka Wawan yang gemas menawarkan bantuannya untuk membedah bisul si Babeh agar segera sembuh. Agar si babeh tak rewel  yang lain meyakinkannya bahwa Wawan  dari jurusan kedokteran yang sudah biasa melakukan pembedahan. Tentu saja, dengan pisau sangkur itu paling banter yang dibedah adalah ikan atau ayam.

“Mediiik…mediiik!”  Wawan berteriak-teriak menirukan film-film perang Holywood kala si Babeh siap berbaring.

Ah gogorowokan sagala..kotak P3K aya di gigireun,” ujar Lutfi.

“Hehehe..asa jadi Willem Dafoe euy,” balas Wawan yang selalu menyingkat namanya menjadi  WD sambil nyengir .

Bere heula Antalgin geura, Bar,” kata Wawan kepada Bar.

Sabaraha?” Tanya Bar.

“Alah.. berekeun we kabeh da geus rek turun ka desa urang na oge,”

Mulut si babeh agak gelagapan ketika Bar memasukan pi-pil antalgin itu ke mulutnya. Entah ada berapa, dan langsung memberinya minum untuk menelan semua pil itu.

“Apa itu Nak  yang saya telan?’ penuh tandatanya Babeh memandang kepada Bar.

“Vitamin,” ujar Bar singkat.

“Sudah siap pak?” tanya Wawan kepada si Babeh.

“I..Iya  tapi jangan sakit ya nak Waw…” belum sempat babeh melanjutkan kalimatnya Wawan sudah beraksi dengan sangkurnya.

“Hiah…hah…hiaaah..!” Wawan berteriak-teriak seolah beraksi dalam sebuah pertarugan Mortal Kombat.

“AAAAUUUU..AAAAA..AAAUUU,” sementara itu nada yang berlawanan terdengar dari mulut babeh memecah kesunyian hutan.

“AAAAA…. AUUUU…..,” suara jeritan  terus keluar dari mulut nya. Agar tak terlalu berisik Bar memasukkan gumpalan pakaian ke mulut babeh

“Hhhhhh..hhhh..mmmm.” suara memelas masih terdengar. Kali ini mungkin ditambah protes karena kaos yang bau.

“Hehh..heh..geus bucat tah..”  ujar Wawan puas.

“Kapas?” bagai ahli bedah Wawan meminta peralatan nya kepada Lutfi.

“Betadine?”

“Rivanol”

“Verban,”

“Samsu?”

Jang naon roko Dji Sam Soe?” tanya Lutfi keheranan.

Keur ngaroko we urang,” ujar Wawan. Tak lama kemudian sang dokter dengan puas menyedot rokoknya dalam-dalam. Seperti kepuasan petarung yang telah menghabisi korbannya.

Bar melepas gumpalan baju yang membungkam mulut babeh dan memberinya minum.

“Nah sudah beres pak..nih rokok,” ujar Wawan kepada pasiennya.

Tak lama kemudian ketegangan pun mengendur dan mereka terlibat pecakapan tentang rute turun ke desa.

“Terimakasih nak Wawan…saya sudah dioperasi,” kata babeh kepada Wawan.

“Nanti kalau sudah jadi dokter mampir lagi ke dusun ya nak Wawan,” ia melanjutkan.

Wawan mengiyakan sambil mesem-mesem seraya melirik kepada teman-temannya yang cekikikan. Yang penting tim kini akan bisa bergerak lebih cepat dari  hari-hari kemarin. Rasanya sudah tak sabar kembali ke desa setelah berhari-hari menerobos kelebatan hutan pulau Sumbawa ini.