Situ Lembang termasuk kawasan hutan alam yang dikelola oleh Perum Perhutani, berada kurang dari 10 km dari Parongpong. Pintu masuknya melalui Kampung Cijanggel, Cisarua. Danau ini terletak di lembah yang diapit oleh dua gunung yaitu Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Perahu. Desa terdekat harus ditempuh sekitar 2 jam berjalan kaki, sehingga tak heran bila kawasan ini masih cukup terisolasi dari keramaian.
Di sebelah Barat dan Utara danau terbentang dinding kaldera gunung api yang menjulang dan memanjang. Dinding bukit setinggi sekitar 200-an meter ini adalah kaldera gunung api Sunda, yang pernah meletus pada zaman Kuarter kala Pleistosen sekitar 500 ribu tahun silam. Dasar gunung api Sunda yang dulu berketinggian lebih dari 4.000 meter ini menjadi gunung Tangkubanperahu sekarang, sementara gunung-gunung parasitnya menjadi Burangrang di Barat serta Bukittunggul dan Palasari di Timur.
Cuaca disini kerap tak menentu. Terkadang angin yang menderu-deru dan kabut tebal turun di siang hari seperti halnya sering terjadi pada dini hari, di saat suhu mencapai titik terendahnya yang membekukan. Bila cuaca demikian diikuti pula oleh hujan yang lebat maka lengkaplah keriuhan alam di Situ Lembang. Bahkan di siang hari pun matahari hanya hadir beberapa jam saja. Cuaca yang bagus merupakan bonus disini, buka sesuatu yang terjadi setiap hari.
Hujan mulai turun
Jam menunjukkan pukul 01:30 saat gerimis mulai turun di kawasan Situ Lembang kala itu di awal tahun 2012. Suasana di sekitar api unggun pun menjadi gundah karena mereka akan terpaksa menjalani taktik bioskop keliling, yaitu misbar (gerimis bubar). Padahal menjelang dini hari itu masih banyak yang mencoba bertahan dari kantuk demi menikmati suasana api unggun di pinggir danau. Tak setahun sekali mereka bisa merasakan atmosfer seperti itu.
“Ieu gara-gara Bano ngomong-ngomong soal pawang hujan,” gerutu Dodi melancarkan somasi kepada Bano..
“Soalnya saya koordinasi sama pawang hujan memang cuma sampai tengah malam,” ujar Bano. Entah benar atau tidak.
Apa boleh buat, hujan ternyata semakin rapat. Tanpa perlu dikomando lagi sisa-sisa laskar yang bertahan di api unggun pun mundur teratur. Bonk dan Gatot bergerak cepat masuk ke dalam Range Rover yang hangat untuk segera bermimpi. Yang lain meraba-raba dalam kegelapan mencari ruang untuk “sekedar menitipkan kaki” (Red : istilah yang sudah dipatenkan dari Wawan Barang). Ternyata jip-jip Landrover yang parkir di sekitar api unggun sudah dikuasai para personil yang tidur duluan.
“Arah jam 10 aja kita serbu,” ujar Bano memberi komando sambil menunjuk arah barak dekat warung.
“Saya coba serbu arah jam 8,” ujar Bar melirik barak dekat genset.
Tanpa ba-bi-bu lagi, bagai pergerakan unit SWAT terlatih pasukan yang kedinginan ini menerobos pintu barak yang tertutup untuk menghindari kabulusan. Namun ternyata di barak dekat warung semua tempat sudah terisi. Demikian pula barak dekat genset ternyata dikunci. Entah apa alasannya mengunci pintu, padahal masih ada tempat tidur tersisa yang sudah dinavigasi darat sebelumnya oleh Bar. Ia pun harus bergeser menuju tempat lain.
Tidur di warung jelas bukanlah pilihan, karena tak terlindungi dari angin dan hanya bisa tidur di bangku. Bila sos-ped ke dalam rumah pemilik warung tentu tak elok juga kalau sudah jam segini, bisa-bisa kena guyur kuah indomie. Dalam situasi yang tak menentu, Kang Tatan pun mundur teratur ke mushola di pinggir danau dan membangun pertahanan seadanya.
Situasi di barak:
Dalam kegelapan suara ngorok bersahut-sahutan, namun beberapa orang masih sibuk mencari celah untuk tidur. Setelah melakukan scouting dengan seksama, Rina segera melihat sedikit celah di sudut lalu dengan kepiawaian seorang skiper ia bermanuver masuk kedalam eddies itu. Dengan sebuah kayuhan kuat segera didapati posisi yang kuat.
“Cihuy..selamat mencari tempat tidur’” ujar Rina kepada yang lain sambil menutup sleeping bag-nya. Hanya dalam sepuluh hitungan kemudian ia pulas tertidur.
Bar dan Dodi masih resection mencari sudut kompas yang tepat sementara Bano dan K’Onat membangun pertahanan di velpbed yang serta merta digotong dari tempat api unggun. Posisi mereka berdua pun aman, ibarat melakukan sebuah blokir raja dalam permainan catur.
Saat Bar dan Dodi melakukan navigasi man to man, tanpa dinyana K’Damul menggeliat ke samping, mungkin karena mimpi mendapati handycap dalam off road. Bar yang posisinya lebih dekat segera bereaksi seperti Gonzales mengeksekusi peluang di kotak pinalty lawan.
“Ini kesempatan..,” pekiknya tertahan. Dalam sepersekian detik Bar menggunakan moment of truth ini untuk memasukkan sleeping bag-nya ke dalam celah sempit, lalu seperti kata Reinhold Messner berusaha “mendorong batasan-batasan ini lebih melebar”. Teknik yang dipakai di ketinggian 8000-an meter ini ternyata berhasil juga dilakukan di barak Situ Lembang.
Dodi sementara itu bersiap pula melakukan gerakan tanpa bola ala Lionel Messi, namun tak kunjung ada peluang lagi. Bahkan pemain sekaliber Messi pun bila tak ada peluang hanya akan gigit jari seperti halnya ketika Argentina dibekok Jerman di Piala Dunia lalu. Ia harus puas mendapat ruang kosong dibawah kaki-kaki yang tidur. Bukan pilihan yang bagus, karena ia harus bernegosiasi dengan bau-bau kaki nantinya.
“Uab utapes mun kieu mah,” gumam Dodi.
Tak ada pilihan ia pun membereskan peralatan tidurnya lalu dengan gontai keluar dari barak menuju hujan yang mulai turun dengan deras di luar. Padahal ia memerlukan istirahat karena besok akan merenangi air Situ Lembang yang dingin menusuk itu dalam materi penyeberangan basah.
Ctak..! tiba-tiba Dodi menjentikkan tangannya. Ia ingat di tenda dome K’Yuno masih ada ruang untuk tidur. Tak membuang waktu lagi ia menuju kesana untuk mengeksekusinya. Posisinya pun aman malam itu walau tereliminasi dari barak.