Mencari Utara Menghadap ke Barat

papandayan sholat

Tuhan membuat kebenaran dengan banyak pintu untuk mempersilahkan setiap orang yang beriman mengetuknya (Kahlil Gibran)

 

 

 

Menentukan arah merupakan hal yang penting bagi seorang petualang yang seringkali terdampar di alam liar. Dalam perjalanannya menyusuri lembah dan pegunungan seringkali seorang petualang kehilangan arah dalam menentukan jalan yang akan dilaluinya. Terkadang pepohonan terlalu tinggi dan rimbun untuk mencari check point yang dapat membantu, kerap cuaca buruk menutupi langit sehingga tak ada rasi bintang yang dapat dijadikan patokan dan sering pula hanya langit dan dataran yang kosong tanpa cek point apapun dengan matahari terik di atas ubun-ubun kepala.

Namun dengan berbekal  pengetahuan dan berbagai peralatan yang dibawa bisa membantu petualang mencari arah yang tepat. Berbekal peta dan kompas kerap kita berusaha menentukan arah Utara dan kemudian mencari arah yang benar untuk dilalui. Teramat hati-hati dan dengan penuh perhitungan kita membidikkan kompas bahkan kini dengan bantuan sinyal satelit GPS.

 

Mencari arah yang benar

Saat di alam liar dan kehilangan arah, kita berusaha semati-matinya mencari arah Utara kemudian menentukan derajat dengan cermat demi menentukan jalan yang benar untuk dilalui. Menentukan arah perjalanan yang tepat berati pula menjaga kelangsungan hidup petualang nantinya. Tanda-tanda alam pun tak luput diperhatikan dengan seksama seperti lumut di batang pohon, rasi bintang atau arah lekuk pepohonan. Segala upaya akan kita upayakan mencari arah.

Semua pengetahuan akan tanda-tanda alam dan peralatan navigasi yang dibawa bisa menunjukkan arah Utara dan menunjukkan jalan yang harus dialalui, namun ketika harus menghadapkan diri kita ke Barat hanya hati yang dapat mengarahkannya. Di negara Indonesia seorang muslim mempunyai kewajiban menghadapkan dirinya lima waktu sehari ke Barat yang merupakan arah menuju kiblat dimana terletak bangunan suci Kabah di kota Mekkah. Namun di tengah penjelajahan yang dilakukan kita selalu dikarunai keringanan dalam menggugurkan kewajiban menghadap Sang Khalik.

 

Menghadap ke Barat

Kerap hanya tiga kali saja kita menghadap ke Barat dan menunaikan kewajiban itu dengan  memanfaatkan keringanan untuk jama. Tak ada air cukuplah bersuci dengan debu, terlalu repot membuka sepatu cukuplah dengan tetap memakainya dan tak ada alas yang layak cukuplah alas sekedarnya saja semisal selembar daun pisang.  Lebih sering lagi saya menghadap sembarang arah saat sholat karena tak tahu persis arah menghadap ke Barat. Saat tak tahu arah itu, kadang saya membayangkan – untuk mendapatkan pembenaran- andai saya berada di dalam Kabah tentunya saya pun bebas sholat menghadap kemana saja. Maka andai kala itu tubuh saya menghadap entah kemana bukankah hati saya ada di dalam tempat nan suci yang dirindukan itu.

Betapa sulit kita menentukan arah dan mencari-cari derajat imajiner yang tepat saat mencari petunjuk arah lintang dan bujur. Terkadang dengan bolak-balik dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mencari petunjuk dan kerap juga dengan melakukan penebasan semak-semak yang melelahkan. Andai matahari tak terlihat di kelebatan hutan terpaksa kita dengan seksama memperhatikan arah kemana rasi-rasi bintang bergeser.

Konstelasi bintang selalu bergerak ke arah Barat dan dengan menghadapkan diri ke arah gerak bintang itu maka sebelah kanan adalah Utara dan sebelah kiri tentunya Selatan. Bayangkan terkantuk-kantuknya saat menunggu arah pergerakan bintang itu. Semua upaya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan dan seringkali memakan waktu berjam-jam lamanya. Namun ketika harus menghadapkan diri ke Barat yang hanya memakan waktu beberapa menit yang singkat untuk bersembahyang sering terasa begitu sulitnya.

 

Ujian sesungguhnya

Andai tak mengetahui arah Barat pun seorang bisa sembarang saja menghadapkan diri untuk sholat ke arah mana saja tanpa perlu bersusah payah dan menguras tenaga menentukan arah. Mungkin ada baiknya kita menghadap ke mobil Landrover saja agar kelihatan bila kendaraan itu bergerak karena parkiran yang miring misalnya atau menghadap ke sepatu Boreal milik kita supaya tak ada mengambilnya saat sedang sholat. Sungguhpun begitu… tetap saja kerap terasa berat.

Di tengah keliaran alam – saat kita tak tahu ada dimana – maka menentukan arah perjalanan yang tepat merupakan tantangan yang serius bagi seorang petualang, namun kemudian untuk menghadapkan hatinya ke Barat-lah yang  merupakan ujian  sesungguhnya.