Hari Saat Kami Dilantik

by Mirza Ahmad Hevicko

Masih pagi di Darmaga saat mataku melihat belasan bahkan puluhan orang beratribut Palawa di sekitar warung yang terpacak di tepi pertigaan jalan. Kabut masih berpendar di atas kali irigasi yang memanjang di seberang sana. Aku merasa keletihan. Sejak semalam aku beserta enam orang lainnya berjalan dan berjalan dalam kegelapan di bawah naungan pepohonan besar yang berdiri di kanan kiri jalan tanah berbatu dengan permukaan yang tidak rata.

Materi longmarch selalu ada dalam Diklatdas

Setelah cukup lama beristirahat di desa Buni Kasih, setelah mendapat perlakuan baik dari para pelatih yang terwujud dalam suplai makanan, minuman, dan sedikit tembakau, siswa Diklatdas XVII Palawa Unpad melanjutkan perjalanan entah ke mana. Begitulah malam hari itu. Kami, atau setidaknya aku, tidak mengetahui arah dan tujuan dari segala instruksi. Kaki kubiarkan melangkah meski buta entah ke mana. Beberapa kali Dini terjerembab masuk dalam lubang-lubang yang menganga di sepanjang badan jalan. Suara-suara pelatih memberi peringatan agar siswa dapat terus berjalan. Begitulah, sejak 30 September, setiap perilaku yang menghambat pergerakan segera diselesaikan dengan peringatan-peringatan. Darah yang menempel di bagian pundak baju lapangan adalah bukti yang mungkin akan selalu mengingatkan kami betapa untuk menjadi pemain yang tangguh tidak bisa dilakukan sambil lalu dan main-main.

Jalan aspal di hadapanku masih sepi, mungkin karena masih pagi. Ada dingin yang menggelayut mengiringi rasa kantuk yang semakin memberati kelopak mataku. Kulihat beberapa sisa lebam di wajah Koko. Cekung wajah Herlambang Owo semakin membuatnya mirip dengan Dedi Stanza, penyanyi legendaries yang namanya sejak sepekan lalu sering disebut-sebut dalam Diklatdas ini. “Tuan Dedi Stanza, sedang apa Tuan?” suara pelatih bertanya dengan nada keras dan khas. Pagi ini ia semakin terlihat kurus dan wajah cekungnya menggidikkan perasaan. Di sampingnya ada Dody, Novi, dan Yuli.

Sampai di mana Diklatdas ini. Badan dan semangatku rasanya sudah begitu lemah, seolah garis finish selalu menjauh setiap kali kami melangkah berupaya mendekatinya. Semua terasa mulur seperti karet, seperti pagi ini saat kami diberi waktu untuk sedikit beristirahat. Diam-diam keberadaan kali di hadapan kami member kejelasan mengenai apa kegiatan atau mata acara setelah istirahat ini. Masih sambil duduk-duduk di tepian jalan kami sudah semakin pandai menduga: jangan-jangan kami sebentar lagi akan dimasukkan ke dalam kali, tidak mustahil kami akan direndam berjam-jam di sana. Mengingat yang sudah-sudah, pagi ini kemungkinan besar menjadi hari luar biasa. Ya, luar biasa. Jika sejak kemarin jumlah pelatih yang tidak lebih dari sepuluh orang telah mampu memporak-porandakan semangat dan kekuatan fisik kami, bukan tidak mustahil dengan jumlah yang berlipat-lipat kisah siswa pendidikan dan latihan dasar ke tujuh belas ini akan berakhir tanpa harus menjejakkan kaki di finish. 

Memang benar. Tidak sampai setengah jam kemudian, seluruh siswa mulai memasuki kali dengan penuh khidmat. Kedalamannya hanya sebatas pinggang namun dinginnya mampu mengejutkan syaraf di sekujur badan. Tidak lama kemudian segera suara-suara nada sumbang kami mengudara menyuarakan lagu-lagu pendidikan. Kegiatan bernyanyi sedikitnya ikut mempengaruhi semangat yang mulai meredup agar kembali nyala. Aku senang bernyanyi dan tidak lagi peduli apakah suara yang keluar sesuai dengan nada atau hanya sebatas bebunyian yang berantakan, chaos, dan memekakkan telinga-telinga yang mendengarkannya, termasuk telinga pelatih. 

Dari dalam kali kulihat mereka berjajar memagari kami dari pengelihatan orang-orang yang lalu lalang di jalanan. Kami masih bernyanyi-nyanyi. Kami masih harus membulatkan tekad memilih nama yang pas bagi kami –angkatan tujuh belas. Masih pagi, kabut tipis mulai lenyap disinari mentari. Hari itu adalah tanggal 11 Oktober 2000, hari saat kami dilantik.

Matraman,11-10-’12