PALAWA UNPAD: PAST, PRESENT AND FUTURE
Refleksi Alumni Jelang Empat Dasawarsa
Sesuai dengan judul di atas, tulisan ini adalah upaya saya melihat perhimpunan berdasarkan pengalaman pribadi, baik sebagai AM, AB maupun sekarang sebagai ALB Palawa Unpad. Anggaplah tulisan ini sebagai wujud perhatian saya kepada perhimpunan menjelang usianya yang ke 40 tahun depan, sebagai sumbangsih demi kemajuan & kejayaan organisasi yang saya cintai ini.
Bak seorang manusia, 40 tahun adalah usia matang, dimana seseorang sudah cukup makan asam garam kehidupan. Kalau dalam berkarir biasanya jelang atau bahkan sudah memasuki masa puncak karirnya. Bisa juga justru titik balik dimana seseorang menyadari siapa dirinya dan apa yang dicari dalam kehidupannya. Singkatnya suatu usia dimana seseorang sudah (mulai) nyaman dengan identitas dan jati dirinya. Mungkin demikian juga dgn perhimpunan ini. Sudah jelaskah identitas dan jati diri kita? Puaskah kita dengan kiprah perhimpunan selama ini? Bagaimana kita bisa membawa organisasi ini menjadi lebih baik lagi?
Tentu kemungkinan akan ada hal yang kurang pas atau bahkan kontroversial terkait dengan opini yang akan saya sampaikan ini. Karena sikap dan pandangan seseorang tentang suatu hal yang sama bisa jadi berbeda dengan orang lain. Perbedaan itu semata karena memang latar belakang pengalaman, tingkat pendidikan dan lingkungan kehidupan yang berbeda, terlepas bahwa masing-masing pernah dibesarkan dalam organisasi yang sama. Perbedaan pendapat adalah rahmat yang harus disyukuri, karena menunjukan adanya dinamika berpikir dan mendorong pengembangan organisasi. Saya justru berharap tulisan ini bisa memicu proses dialektika lebih lanjut. Disclaimer neh! 😉
Menuju Kemanfaatan yang Berkelanjutan
Seperti kita ketahui bersama, 24 Maret 2022 tahun depan, perhimpunan kita memasuki usia ke-40. Suatu usia yang tidak muda lagi, walaupun juga belum tua bagi sebuah organisasi. Menurut saya, ini merupakan momen istimewa yang menandai kiprah 4 dasawarsa perhimpunan ini. Seyogyanya kita memperingati tonggak pencapaian ini dengan melakukan kegiatan yang kongkrit. Salah satunya dengan merefleksi jejak langkah perhimpunan selama ini, berkontemplasi sekaligus melakukan evaluasi. Bukan berarti mau mencari-cari kesalahan yang tidak perlu, tetapi semata upaya mendorong peningkatan berkelanjutan atau kaizen sehingga organisasi bisa bertumbuh secara lebih optimal.
Sebagaimana tersirat dan tersurat dalam lirik hymne perhimpunan yang diciptakan Kang Iwan Wahyudi yang sarat pesan semangat, harapan dan cita-cita agar perhimpunan ini menjadi cahaya sakti nan kemilau yang menerangi lingkungan di manapun berada. Mampu berdiri kokoh di puncak dunia kepecintaalaman, lingkungan hidup & kemanusiaan. Sebagai organisasi yang tidak mudah dihempas angin dan tak pula mudah digoyang badai kehidupan. Palawa sepanjang masa!
Bait terakhir ini yang paling penting menurut saya, tekad untuk selalu ada dalam perjalanan waktu. Bukan cuman sekedar ada per se, tetapi lebih dari itu, karena ada-nya itu memberi manfaat maka harus dipertahankan agar selalu ada. Sehingga eksistensi perhimpunan tidak disia-siakan hanya untuk memenuhi ego atau romantisme segelintir individu, tetapi harus lebih luas dari itu. Aktivitas atau apapun yang dikerjakan itu, haruslah yang memiliki aspek manfaat kepada manusia lain atau masyarakat serta bertujuan untuk berkontribusi demi kemanusiaan dan dunia (Graeber, 2018). Sehingga Palawa sepanjang masa itu sejatinya kemanfaatan Palawa yang berkelanjutan.
Palawa dan Kultur Kepecintaalaman
Organisasi pecinta alam merupakan organisasi yang unik, karena mengkombinasikan kegiatan luar-ruang (outdoor activity) yang berdimensi kepetualangan namun sekaligus melekat juga dimensi lingkungan hidup, konservasi alam dan bahkan kemanusiaan. Barangkali sulit untuk menemukan padanan organisasi yang sejenis di negara lain, karena biasanya lebih spesifik, kalau tidak klub outdoor-adventure ya organisasi lingkungan.
Keunikan tersebut tentu tidak terlepas dari sejarah berdirinya organisasi kepecintalaman di Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an. Berbeda dengan kultur outdoor di Amerika Serikat di periode tahun 1950-an dan 1960-an yang lebih berbasis aktivitas keluarga (Tsing, 2004). Di Indonesia, kegiatan outdoor ini diprakarsai oleh sekelompok pemuda, menjadi aktivitas khas anak muda dan karenanya memarak di kampus-kampus perguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Di samping banyak juga kelompok pemuda atau komunitas di luar kampus yang mendirikan organisasi pecinta alam.
Pelopor organisasi pecinta alam yang sama-sama berdiri di tahun 1964 adalah Wanadri di Bandung dan Mapala UI di Jakarta. Walaupun berdiri dalam waktu yang relatif bersamaan, nuansa sejarah yang melatarbelakangi pendiriannya cukup berbeda yang mempengaruhi kultur keorganisasian antara keduanya. Wanadri lahir dari para pemuda yang memiliki latar belakang kepanduan dengan semangat kepetualangan alam bebas yang militan. Sementara Mapala UI didirikan dari para aktivis mahasiswa sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim politik yang penuh intrik kala itu, juga sebagai perwujudan kebebasan sipil terhadap doktrin militerisme yang dianggap tidak rasional (Utomo, 2014). Kedua organisasi ini masih berdiri dan bisa dibilang masih menjadi market leader untuk kegiatan kepecintaalaman di Indonesia.
Selanjutnya di periode tahun 1970-an mulai bermunculan pembentukan organisasi mahasiswa pecinta alam di kampus-kampus besar di tanah air. Diantaranya adalah Aranyacala Usakti di tahun 1967, Mapagama UGM di tahun 1973, setahun kemudian di tahun 1974 berdiri Lawalata IPB, Wanala Unair, Mahitala Unpar, lalu Impala Unibraw tahun 1975, Wapeala Undip 1976, Mapala UNS 1977 dan lain-lain. Mereka ini kalau dalam konsep marketing Kotler masuk ke kelompok early adopters.
Sementara Palawa Unpad sendiri baru berdiri di tahun 1982, ketika kegiatan kepecintaalaman sedang memasuki masa puncak kepopulerannya di periode tahun 1980-an. Organisasi pecinta alam berbasis kampus besar yang juga berdiri di periode ini salah satu diantaranya adalah Korpala Unhas, tepatnya pada tahun 1985. Ketika tren sudah terbentuk inilah kelompok early majority membuat aktivitas menjadi semakin populer hingga pada periode tahun 1990-an hampir semua kampus memiliki organisasi pecinta alamnya sendiri (Tsing, 2004).
Sebagai organisasi intra kampus, Palawa ada dalam naungan Universitas Padjadjaran. Secara kultural, jati diri Palawa harusnya lebih dekat pada karakter nilai & aktivitas keorganisasian Mapala, sebagai bagian dari masyarakat kampus yang ilmiah. Apalagi dalam sejarah pendiriannya, jelas ada semangat akan mendirikan klub pecinta alam yang lebih luas, yang bidang kegiatannya harus ada unsur ilmiahnya (palawaunpad.djandjan.com).
Namun demikian, Palawa sebagai organisasi pecinta alam dalam konteks sosial maupun kultural justru jauh lebih dekat pada model keorganisasian Wanadri. Organisasi yang sebenarnya merupakan organisasi pecinta alam non kampus yang terbuka untuk masyarakat umum. Berbeda secara mendasar dengan Palawa yang hanya dikhususkan untuk mahasiswa yang bahkan harus diterima masuk Unpad terlebih dahulu untuk bisa bergabung. Kedekatan kultural tersebut, bukan saja karena keduanya berada di lingkup pengaruh budaya masyarakat di kota yang sama tapi lebih jauh lagi, organisasi itu secara tidak langsung terlibat dalam proses pendirian organisasi Palawa secara personal, melalui anggotanya yang saat itu menjadi bagian dari civitas academica Unpad.
Secara jujur pengaruh itu bisa dilihat dari pola perekrutan, sistem keanggotaan, mekanisme pembinaan organisasi, pola hubungan yang tercipta dan lain-lain yang ada kemiripan dengan mayoritas organisasi kepecintaalaman di Bandung yang juga mengikuti model organisasi pecinta alam tertua tersebut. Demikianlah kenyataannya, karena memang dalam khazanah akademik, kultur organisasi berasal dari pengaruh 3 aliran nilai-nilai yang dominan yakni; nilai & visi para pendiri, lingkungan sosiokultural setempat dan dinamika organisasi sebagai respon adaptif dari situasi yang merangsang tindakan & reaksi (Pant, 2014).
Palawa dan Tantangan untuk Berubah
Uraian di atas sudah sangat jelas menegaskan kultur kepecintaalaman yang seperti apa yang berlaku di perhimpunan saat ini. Maka tidak heran, bilamana dorongan untuk kegiatan yang bernafaskan kepetualangan biasanya jauh lebih dominan daripada bentuk-bentuk kegiatan kepecintaalaman lainnya.
Memang dalam setiap kegiatan penjelajahan yang dilakukan Palawa, baik yang berupa pengembaraan maupun ekspedisi selalu disisipkan aspek ilmiah yang menjadi visi perhimpunan sejak awal. Tren kajian ilmiah di awal perhimpunan biasanya berupa pengamatan atau penelitian sosial masyarakat, sementara sekarang ini sepertinya sudah lebih variatif dengan pemetaan & pengambilan data fisik maupun eksperimentasi yang lebih teknikal. Apakah demikian? Mengingat ada pergeseran mayoritas anggota aktif Palawa yang awalnya didominasi mahasiswa yang berlatar soshum kepada saintek.
Begitupun, penjelajahan yang mengarusutamakan tujuan ilmiah skala ekspedisi dengan kegiatan kepetualangan sebagai penunjang, relatif lebih jarang dilakukan dibandingkan kegiatan ekspedisi yang bertujuan mengeksplorasi suatu medan petualangan dengan kajian ilmiah sebagai penunjang. Untuk melihat kecenderungan ini, coba cari ‘kronik ekspedisi’ yang pernah saya susun di media ini (postingan tanggal 23 Januari 2016).
Lebih jauh lagi, ternyata kalau melihat ke belakang, sempat ada periode yang nyaris 1 dekade (2001-2011), tidak ada penjelajahan berskala ekspedisi, hingga ekspedisi internasional skala besar di 2011. Bahkan untuk aspek kepetualangan pun kita nampaknya keteteran, ada apa? Baca lebih lanjut tulisan saya yang menyoal kultur ekspedisi Palawa di media ini atau di situs storyofthepack.com (artikel tanggal 31 Januari 2016).
Setelah itupun, perhimpunan kita hanya mampu menyelenggarakan 2 kali kegiatan besar skala ekspedisi. Diantaranya tahun 2017, Ekspedisi Padjadjaran Nemangkawi yang selain mendaki puncak gunung juga mengusung eksperimentasi zero waste mountaineering sekaligus penelitian literasi dengan perspektif budaya & psikologi. Kemudian tahun 2019, Padjadjaran International Expedition yang mendaki Gunung Habba di Yunan, China. Namun untuk yang terakhir ini saya tidak tahu apakah murni eksplorasi atau ada muatan ilmiahnya.
Dari amatan dan interaksi saya dengan para anggota aktif selama beberapa tahun belakangan ini. Saya berkesimpulan bahwa ada sesuatu yang membebani organisasi ini untuk maju ke depan. Sesuatu yang erat terkait dengan sistem, mekanisme & kebiasaan/tradisi yang (selama ini) berlaku. Singkatnya berkaitan dengan kultur perhimpunan yang statis, tidak dinamis dan cenderung rigid dalam menyikapi perubahan yang terjadi di sekitar kita. Seolah-olah tabu untuk melakukan perubahan, terlihat jelas dari dinamika proses diklatdas dan masa pengembaraan terakhir yang diselenggarakan Dewan Pengurus dimana memicu cukup banyak kontroversi, padahal upaya itu dilakukan sebagai antisipasi terhadap situasi pandemi yang memang menuntut adanya pola adaptasi baru.
Sebenarnya perubahan yang paling utama yang menurut saya justru harus terlebih dahulu diantisipasi adalah mengadaptasi tuntutan akademis untuk lulus lebih cepat, yang mana memberi tekanan pada masa keanggotaan efektif di Palawa. Kemudian juga dimensi pengelolaan organisasi yang selama ini terkesan linier yang feodalis & dogmatis padahal harusnya bisa lebih lateral, tidak mesti lurus, urut tapi bisa lebih kreatif lagi, out of the box, selama memberikan alternatif solusi. Terakhir yang penting juga adalah berani merubah perspektif yang inward-looking, bahwa nilai Palawa yang utama tidak sesempit heroisme, romantisme, kebanggaan personal/komunal semata sehingga seringkali abai memberi ruang pada peluang kemanfaatan yg lebih luas.
Mengenai apa yang dibahas diatas, bahkan sudah ada penelitian ilmiah dari anggota Palawa sendiri yang mengambil Palawa sebagai objek penelitiannya. Penelitian skripsi tersebut menyoroti ritus peralihan di Palawa yang melihat bagaimana perjalanan anggota Palawa dalam menempa diri dari awal hingga dilantik menjadi anggota (Taufiq, 2020). Tema penelitiannya menarik sekali dan sangat relevan dengan apa yang coba disampaikan dalam tulisan ini. Bahwa ada proses yang harusnya bisa dirubah menjadi lebih efisien dan efektif untuk bisa menjawab tantangan zaman. Menurut penulisnya, ada jenjang yang terlalu lama sehingga mengikis hasrat bertualang dan ide untuk membuat gebrakan baru. Kalau menurut saya, ada sistem & mekanisme internal yang sangat menghabiskan energi sehingga keluarannya antiklimaks.
Jangan sampai organisasi ini gagal menjawab tantangan di masa datang karena melakukan hal-hal yang berkontribusi pada kegagalan sebagai berikut (Diamond, 2005):
Gagal mengantisipasi karena tidak mampu melihat masalah sebelum masalah itu datang.
Ketika masalah itu datang, kita gagal mempersepsikan masalah tersebut karena semua seolah terlihat baik-baik saja.
Setelah bisa melihat masalahnya, malah gagal ketika mencoba untuk mengatasinya.
Kita mungkin sudah berupaya menyelesaikannya tetapi masih gagal.
Penutup
Sebagai kesimpulan, di atas sudah dijelaskan bagaimana identitas dan jati diri Palawa, tentu sepanjang yang saya pahami dari sejarah dan pengalaman berinteraksi di dalamnya. Kemudian dari amatan dan interaksi tersebut juga membuat saya melihat ada beberapa isu internal mendasar yang harus bisa kita atasi agar kiprah perhimpunan lebih optimal lagi.
Lalu, bagaimana agar kita bisa membawa organisasi ini menjadi lebih baik lagi? Saran saya hanya satu, harus berani melakukan perubahan kalau memang situasi menuntut demikian. Menyesuaikan cara dan metoda untuk bisa mengatasi perubahan tantangan yang dihadapi adalah tindakan cerdas daripada bersikukuh mempertahankan cara-cara lama yang terbukti menggerogoti potensi perhimpunan. Tentu kita masih bersepakat bahwa Palawa tidak boleh punah, Palawa untuk sepanjang masa!
Penulis : Luthfi Rantaprasaja/KP
Referensi :
Diamond, Jared. 2005. Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed. London & New York: Penguin Books,
Denny et al. 2014. Handbook of Anthropology in Business. New York : Routledge.
Graeber, David. 2018. Bullshit Jobs: A Theory. London & New York: Penguin Books,
Kotler, Phillips. 2012. Principles of Marketing-14th edition. New Jersey : Prentice Hall.
Rantaprasaja, Luthfi. Menyoal Kultur Ekspedisi. 31 Januari 2016. Http://storyofthepack.com akses 28 Agustus 2021.
Saputra, Djandjan. Sejarah: Palawa Unpad. 5 Oktober 2015. Http://palawaunpad.djandjan.com akses 27 Agustus 2021.
Tsing, Anna L. 2004. Friction: An Ethnography of Global Connection. New Jersey:: Princeton University Press.
Utomo, Margo D. 2014. Kenderungan Konsumsi: Studi kasus konsumsi produk outdoor pada komunitas exploring Bandung. Skripsi. FISIP, Antropologi, Unpad. Jatinangor.
Taufiq, Samudera M, R. 2020. Ritus Mahasiswa Pecinta Alam: Autoetnografi pada Mahasiswa Pecinta alam Palawa Unpad. Skripsi. FISIP, Antropologi, Unpad. Jatinangor