Triyanto dilanda galau kala menerima segepok uang ditangannya. Alih-alih senang mendapat uang Ia merengut kurang puas. Bolak-balik dilihatnya list panjang belanjaan yang harus dibelinya.
“Maenya ngan dibere sakieu jang meuli logistik.. “sungut nya ,“paehan we aing sakalian..”
Triyanto yang sudah teruji dalam menangani logistik (Lihat tulisan Power, Kawani dan Perahu Avon) kini didaulat menjadi anggota seksi logistik expedisi Sulawesi. Bukan kebetulan bila ia kuliah di jurusan Logistik PAA FISIP.
“Kalem, pasti bisa…,” ujar Luthfi sang manajer ekspedisi senyum-senyum.
“Ka urang teh kieu wae euy barudak mah,” gerutuTriyanto.
“Lancarna ekspedisi ieu tergantung maneh Tri,” ujar Adjat membesarkan hati Triyanto yang galau.
“Maenya we pan penguasa pasar induk Gedebage..” bujuk Bar
“Kata-kata beracun wungkul ieu mah..,geus apal ayeuna urang mah..” gerundel Triyanto melengos keluar dari sekretariat seraya bergumam “,..nya engkelah diusahakeun ku urang.”
Semua tersenyum bahagia, artinya masalah logistik sudah teratasi. Begitukah? Sebetulnya tak sesederhana itu.
Beberapa hari kemudian Triyanto benar-benar datang dengan setumpuk logistik yang diminta. Semua aplaus dan standing ovation. Bagaimanapun, ia memang bisa diandalkan dalam hal ini.
“Lain urang mun teu bisa kieu-kieu wae mah,” ujarnya membusungkan dada. Chef internasional Dudung segera memeriksa logistik yang dibawa itu. Dengan tekun ia memeriksa satu persatu. Kornet, Keju, sarden, indomie dan seterusnya..
Dudung yang cermat segera menemukan keganjilan. Sambil menerawang sebuah kaleng kornet, ia bertanya,” Tri, naha ieu mah expired wungkul kornet na?”
“Nya enya atuh.., duit sakitu mah moal cukup meuli nu murah oge,” jawab Triyanto kalem ”jadi urang meuli nu expired.”
Betul juga, uang yang diberikan memang memelas, hasil jerih payah jualan baju bekas di Cicadas.
“Waah..ciloko kieu carana mah,” Adjat terhenyak “mun garering kumaha atuh..”
“Ah, da urang ngan dititah meuli logistik. Teu realistis hayang kornet Pronas ku duit sakitu,” balas Triyanto tersenyum penuh kemenangan dapat membalas teman-teman yang sering mengerjainya.
Kini giliran Luthfi yang galau memandang tumpukan kornet expired itu. “Pendapat masing-masing ketua tim we kumaha?” Luthfi menanyakan second opinion pada Dudung, Opik dan Bar.
Opik, Dudung dan Bar yang satu tim dalam pengembaraan ke Ujungkulon tenang-tenang saja. Sayup-sayup mereka masih terngiang lezatnya melahap kornet-kornet yang juga berstatus expired disana (lihat tulisan Sesendok Kornet di Rajabasa) . Ditanya demikian, tentu saja ketiganya cingcay saja.
“Teu nanaon..ngeunah da..nepi ayeuna sehat-sehat wae geuning..” ujar Opik santai.
“Masak na we sing asak,” Dudung memberi wanti-wanti, padahal di Ujungkulon mereka melahapnya mentah-mentah.
“Bukaan we bungkusna meh batur teu apal,” ujar Bar lebih simpel.
Ya, lebih baik realistis saja. Siapapun yang ingin mengkritik tak bisa memberi kontribusi pada kas ekspedisi. Jadi terima saja keadaannya. Tentu tak ideal, tapi bila tak bisa memberi kontribusi lebih baik ikuti saja.
“Alus tah ide-ide na hahaha..” Lutfhi tertawa bahagia ,” okey teu nanaon atuh mun kitu mah.. .”
“Antisipasi mawa norit sing loba,” usul Adjat yang juga berpengalaman melahap kornet expired dalam pengembaraan Ujungkulon itu.
Seperti dalam pertandingan tim, apa yang terjadi di kamar ganti, tak pernah keluar dari sana. Ini menghindari kegelisahan dari yang lain. Demikianlah hanya beberapa orang saja yang tahu masalah logistik ini.
Setelah lewat bertahun-tahun informasi yang dulu bisa sensitif pun kini dapat dibuka, sebelum bocor sendiri via Wikileaks seperti arsip CIA. Memang tak semua informasi yang beresiko perlu disampaikan. Cukup beberapa orang yang tahu dan bertanggungjawab atas informasi itu. Hingga hajatnya rampung, semua anggota tim ekspedisi Sulawesi sehat-sehat saja tak kurang apapun. Bila tak dirahasiakan, mungkin beberapa orang sudah muncrut sejak tiba di Makassar.