From Jojodog to Cafe: Exploring Vietnamese Coffee Culture

192045_1751228494695_45103_oby Luthfi Rantaprasaja

Buat yang tidak tahu… jojodog itu bahasa Sunda untuk sebuah tempat duduk yang sangat kecil dan biasanya terbuat dari kayu berkaki dua… Walaupun yang menduduki jojodog itu nyaris tidak bisa disebut duduk namun berjongkok sangking kecilnya bidang ruang tempat pendaratan (maaf) pantat…

 

Penamaan judul yang mencantumkan jojodog sebenarnya sebagai hiperbola saja supaya cetar membahanaaaa… apalagi kalo disandingkan dengan cafe, dimana konotasi duduk di cafe pastinya tidak akan seperti nyaris berjongkok ya… kontradiktif toh… katanya kalo bikin judul harus begitu supaya menarik… anyway, judul terserah yang nulis ya… situ kan tinggal baca… saya ga perlu jelasin hehe… Ini tulisan asal saja, melihat fenomena yg biasa saja. Dari sudut pandang traveler yg bukan tukang nulis juga, jadi bagus ga bagus tidak menerima protes, hanya menerima pujian hehe…

 

Kebetulan beberapa hari lalu, saya bersama teman untuk kesekian kalinya berkesempatan mengunjungi Saigon. Perjalanan biasa yang cenderung rutin.. karena memang, nyaris 2 bulan sekali paling lama 3 bulan sekali kami berangkat kesana untuk urusan bisnis. Walaupun giliran berangkat seperti berselang-seling macam patroli… namun baru kali ini saya bisa berangkat bersama juragan bayu… Dahulu pernah juga sih berangkat bareng, saat pertama kali datang ke negara Paman Ho ini, namun ketika itu keberangkatan pertama kami berdelapan, persis dua tahun lalu, untuk misi yg lain… yang sejatinya merupakan tonggak eksplorasi berikutnya…

 

Oke, kembali ke perjalanan rutin ke Saigon ini. Dimana rutinitas menjadi sebuah keniscayaan… karena rutin menyiratkan pola2 yang sudah baku… ada program, ada langkah-langkah yg cenderung teratur, tidak berubah & terus menerus… seolah tidak ada pilihan aktivitas lain… pokoknya kalo sudah A ya ke B lantas ke C dan seterusnya… Karena sudah rutin ya, jalani saja… Pokoknya kalo mau perjalanan bisnis ke Saigon, berangkatnya pasti sekian hari, bermalam sekian malam ditempat biasa yang disitu atau paling di tempat lain disana, kemudian jadwal hari pertama, kedua dan seterusnya mengikuti pola yang seolah sudah baku… sampai kembali ke tanah air.

 

Namun demikian, kali ini, dari jauh2 hari sebelumnya, kami sudah bertekad untuk tidak mau terjebak dengan rutinitas yang sudah ada tersebut. Mungkin supaya tidak jenuh… padahal kami termasuk yang tidak terlalu sering berangkat. Ada teman kami lain, juragan Dudung yg sebenarnya lebih sering dan lebih rutin berangkat bahkan nyaris 1 bulan sekali mengadakan perjalanan kesana, bisa dibilang Saigon sudah seperti rumah kedua… dari Bandung, ia lebih sering ke Saigon daripada ke Jakarta. Padahal kalau mau ke Saigon harus lewat Jakarta lho… Coba bayangkan… Sanking seringnya, ada gosip, yang bersangkutan sampai hampir2 ditawari pindah kewarganegaraan dan nyaris mengganti nama menjadi Nguyen Dung hehe… 😀

 

Apapun perjalanan kita, pada dasarnya sama dengan bereksplorasi. Namun eksplorasi bagaimanapun itu menjadi kehilangan geregetnya ketika kita sudah melakukannya berulang kali, harus ada sesuatu yang baru dalam aktivitas eksplorasi… eksplorasi sendiri artinya penjelajahan lapangan… dan karena esensi eksplorasi atau penjelajahan lapangan adalah mencari pengetahuan lebih banyak maka sudah seharusnya sang penjelajah memiliki kehausan akan informasi yang ingin diketahui/digali lebih jauh…

 

Terkait hal tersebut diatas, maka sangat menarik ketika saya mencoba memaknai aktivitas ngopi yang biasa dilakukan setelah ataupun disela aktivitas rutin kami… melihat & merasakan nongkrong minum kopi masyarakat Vietnam khususnya di Saigon walaupun biasa namun cukup unik sebenarnya…. sepertinya ngopi & kongkow2 sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian mereka… mungkin menurut saya, agak lebih besar porsi waktunya dibanding masyarakat kita sendiri.

 

Dalam aktivitas ngopi & kongkow ini, tentunya minuman kopi menjadi sentral… namanya juga ngopi bukan ngeteh… ini ciyus… konon aktivitas kongkow ngopi ini adalah warisan dari jaman kolonialisme Perancis… mungkin kalo yang jajah kerajaaan Inggris, orang Vietnam akan lebih suka ngeteh (?)… Kopi dikenalkan oleh orang Perancis dan komersialisasi perkebunan kopi menjadi marak setelahnya… tentunya sebagai sumber income bagi kolonial yg ingin mengeruk keuntungan sebesar2nya dari potensi daerah jajahannya tersebut.

 

Walaupun Indonesia lebih dahulu mengenal kopi dari kolonialis Belanda dan secara de facto luas wilayahnya jauh lebih besar, namun ternyata justru kopi Vietnam produksinya lebih besar… bahkan nomer dua di dunia setelah Brasil…. lebih jauh lagi, kopi adalah salah satu pemasukan utama negara Vietnam di bidang ekspor! Produk pertanian setelah beras… hebat!

 

Padahal, kopi Vietnam berasal dari ras yang lebih rendah derajatnya, yakni robusta dibanding yg banyak diproduksi di Indonesia, yakni arabica… konon demikian informasinya… tanpa bermaksud membahas lebih jauh soal ras per-kopian, pada kenyataannya memang ‘rasa’ kopi Vietnam memang ‘beda’ dengan kopi2 dari nusantara… ada sesuatu yang ‘lain’…

 

Bukan hanya itu, proses penyiapan secangkir kopinya pun khas… walaupun mungkin seringkali bukan cangkir tapi gelas dan gelas besar pula… gelas bir untuk minum kopi hitam… alamak mamamia… orang Itali aja pake cangkir kecil untuk minum espresso… ato kopi hitam tanpa campuran… belum lagi adanya alat penyaring/penyeduh diatas gelas kopi, dimana penikmat menunggu tiap tetesan kopi yg turun dari alat tersebut sebelum menikmatinya… bisa dinikmati secara murni tanpa campuran, bisa ditambahkan gula atau susu dan (seringnya) juga es batu… dan kopi es batu ini yang sering dikonsumsi… diminum tidak mengenal waktu… boleh di pagi, siang atau malam sekalipun… orang Vietnam sepertinya justru jarang menikmati kopi panas mengepul2… mungkin karena udara Saigon yang sudah panas… setidaknya itu yang terlihat oleh saya…

 

Setelah bicara kopi dan cara menyeduh & menikmatinya, maka kemudian tempat dimana kita menikmati kopi tersebut juga menjadi penting… apalagi ngopi, memang lebih enak dinikmati beramai2 bersama teman di suatu tempat… kalo di tanah air, banyak warung kopi… di vietnam juga ada, namun lebih banyak lagi warung kopi outdoor yg mobile dibanding yg indoor… outdoor krn memang tidak mengenal ruang, cukup menyediakan meja pendek kecil dan kursi2 kecil nyaris seperti kursi belajar anak SD (sangking kecil & rendahnya) maka jadilah cafe pinggir jalan…. Kopi pun siap disajikan, panas atau dingiin…

 

Satu hal yang unik, baik warung kopi indoor maupun outdoor, lay out penempatan kursi dan mejanya pasti menghadap jalan… jadi hanya satu sisi meja yang disediakan kursi… berbeda dengan di tanah air yang kursinya selalu berhadap2an… entah ada apa dengan pemandangan jalan raya… seolah2 mereka senang sekali duduk2 sambil melihat keramaian jalan (!?)… Walaupun demikian, posisi lay out di cafe2 yg lebih permanen… branded…. yang harga kopinya bisa 4-5 kali lipat dari kopi jalanan…  lay outnya ya baku saja, seperti umumnya cafe di tanah air… artinya meja dgn kursi yang berhadap-hadapan…

 

Kenyamanan memang dimiliki cafe, dengan kursi yg empuk, pedingin ruangan dan fasilitas wifi … namun demikian, duduk di kursi kecil nyaris jongkok di trotoar pinggir jalan, tidak kalah nikmatnya… utamanya karena pengalaman seperti ini tidak ada di tanah air… bahkan mungkin, ngopi di jojodog ini lebih terasa pengalaman kulturalnya daripada ngopi di cafe… banyak lokal wisdom kalo kata teman seperjalanan saya… entah maksudnya apa dan mereferensi kemana hehe…

 

Mengapa sebab? Mungkin karena di Saigon… siapapun bisa duduk di cafe pinggir jalan… dari mulai pegawai kantor berdasi, keluarga, bule2 turis hingga remaja2 lokal yg sedang berkumpul sehingga trotoar lapang pun menjadi ramai… Sehingga mungkin dari situ, banyak yg bisa diamati dan dipelajari dari aktivitas biasa2 ini… walaupun saya perhatikan, teman ini lebih banyak mengamati dan mempelajari mode busana lokal yang sepertinya lebih marak yang bermazhab minimalis hahaha…

 

Betapapun semua pasti sepakat bahwa kopi sudah menjadi ikon budaya, bukan hanya dimiliki oleh sekelompok manusia disuatu masyarakat negara… aktivitas ngopi pun sudah menjadi budaya global… terlepas dari mana dan kapan proses akulturasi ngopi itu berawal… karena dalam aktivitas ngopi memang aspek sosialnya sangat kental… yang merapatkan hubungan atau sekedar menegaskan eksistensi… ngopi sangat kental berdimensi sosial… sekental air kopi itu sendiri… karenanya, kemanapun anda pergi… mengopi lah… saya sarankan pilih yang paling lokal dan ndeso… bukan karena murah tapi karena disitu lah warna warni budaya lebih terasa… wallahualam bishawab.