Abul dan Letter of Intent

unpad-upiAbul, tukang kueh yang biasa mangkal di koridor UKM, tiba-tiba tampak pulang anting di depan sekretariat dengan wajah yang ga mau alias panik.Mukanya pucat seperti baru melihat suster ngesot, padahal hari masih terang dan matahari sedang hangat-hangatnya.

Sebentar-sebentar ia melihat kedalam sekretariat melihat para anggota PLW sedang bersantai.

“Kunaon Abul meni panik?” tanya Bais yang selalu standby di sekretariat alias kuncen.

“Tulungan abdi euy..itu Pa Maman keur inspeksi,” kini jelaslah kerisauan Abul ini. Tukang kue memang dilarang berjualan didalam kampus, namun yang namanya penghidupan orang mereka pun terpaksa main kucing-kucingan.Inspeksi ini bukan main-main karena kerap langsung dipimpin oleh rektor saat itu yaitu Pak Maman (almarhum). Dibelakangnya tak mau ketinggalan Pa Udung (almarhum), dan sebarisan satpam tak tegap yang siap untuk menyita barang-barang dagangan. Rupanya hari ini hari sial para tukang kueh di kampus.

“..ieu abdi teu sempet deui beberes..aduh paur disita,” ujar Abul makin memelas. Ya, mana mungkin dalam 10 hitungan Abul bisa membawa dua bakul kueh dan beberapa krat minuman yang selalu memanjakan para aktifis UKM termasuk Palawa.

“..jaba acan aya nu meuli wayah kieu mah..pinuh keneh kuehna oge,” Abul terus nyerocos, kelihatan ada maksud terselubung.

“Jadi maksud Abul kumaha?” tanya Bais.

“Enya teu ngarti urang mah. Kudu didahar kabeh ayeuna ku barudak maksudna?” buru-buru Dodi mengajukan usul, kebetulan ia  sedang lapar.

“Hisss..lain kitu..Eta pang nyumputkeun di gudang Palawa,” bisik Abul akhirnya berterus terang. Oh begitu rupanya, Abul dengan lihai melihat sekretariat Palawa yang “angker” bagi pihak luar sebagai gudang bagi dagangannya. Kini Abul sudah mempraktekan pula siasat berpolitik.

Beberapa orang yang sedang nongkrong di sekret saling berpandangan. Menolong Abul tentu saja sebuah keharusan, darimana lagi mereka akan mengutang kalo tidak dari Abul dan konco-konconya sesama tukang kueh. Namun kolaborasi ini tentu harus disambut dengan anggun dan terukur.

“Bisa siiih..’” ujar Wawan Barang membuka negosiasi,” ngan aya syaratna.”

“Naon eta, kang Wawan..buruan atuh ..,” ia melihat langkah-langkah kaki Pa Maman dan barisan satpamnya yang tak tegap semakin mendekat.
Wawan tersenyum penuh kemenangan melihat kongsi politiknya makin tersudut.Ia melemparkan opsi pada floor untuk melanjutkan.

“Hutang barudak Palawa kudu lunas,” ujar Dodi.

“Abul kudu setor kueh unggal poe,” kata Bar.

“Abul teu meunang bebeja kanu lain barudak Palawa loba hutang,” cetus Opik.
“Ukar we sayah mah,” ujar Brenjon. Rokok maksudnya.

“Abul kudu meresihan parahu!” teriak Akuy dari loteng.

“Abul kudu manjat nepi luhur..daek teu? hehe..,” ujar Bonk menunjuk climbing wall kebanggaan Palawa.Dan syarat-syarat lain yang tampak berat dipenuhi oleh Abul.

“Ulah kitu atuh kang Boni..serius ah abdi mah..tulungan atuh, “ rintih Abul merasa dipermainkan, namun ia berjanji akan diet supaya bisa manjat climbing wall itu.

“Nya serius atuh,” ujar Kuphil menengahi, ia mencatat beberapa persyratan Letter of Intent yang harus dipenuhi Abul. Mirip Camdesu petinggi IMF  sedang memaksa Soeharto menerima LoI dari IMF sebagai jaminan terhadap bantuan lembaga ekonomi dunia itu terhadap Indonesia. Abul pun dengan serius memakai kacamata mempelajari berbagai klausul pemulihan ekonomi.

“Ulah point ieu nya..beurat atuh,”  Abul menunjuk klausul penghapusan hutang barudak PLW.

“Oke..tong kabeh hutang atuh. Diganti jadi penghapusan hutang kueh bacang barudak PLW. Kumaha?” ujar Bar yang paling banyak hutangnya dalam bentuk kueh bacang. Abul mengangguk lemah, seperti gerak ikan yang terkurung dalam jala nelayan.

Akhirnya disepakailah letter of intent  dan segera barang-barang Abul dimasukkan kedalam gudang, termasuk didalamnya berkrat-krat minuman teh botol, rokok.

Tepat disaat semua barang sudah aman, Pak Maman dan barisannya sampai di pelataran sekret.

“Hey, kamu tukang kueh ya,” ujarnya menuding hidung Abul.

“Bu..bukan Pak..suwer..” ujar Abul terbata-bta.

“Bohong kamu..!” Pa Maman tak mau kalah.

“Sayah mahasiswa Pak,” ujar Abul asal ngomong.

“Masa mahasiswa kolot kitu..yang bener kalo ngomong!” bentak Pa Maman.

“Saya mahasiswa S3 Pak,” Abul dengan lihai memainkan bola.

“Yang benar?” suara Pa Maman mulai melunak termakan siasat Abul, tapi dengan sebuah pertanyaan muslihat bertanya lagi.
“Apa nanti judul disertasimu?”

Perbedaan Variansi Metode Estimasi Maximum Likelihood dengan Metode Estimasi Expected A Posteriori Ditinjau dari Banyak butir tes bakatberpikir numerikal,” ujar Abul dengan lancar dan membuat semua yang menyimak dari sekret tekesiap. Pa Maman pun tak berkutik.

“Ya, sudah..semoga cepat lulus ya,” ujarnya sambil berlalu. Dalam hati ia masih tak rela mahasiswa S3 Unpad berpakain seperti tukang kueh.

“Siap pak!” Abul memberi hormat seperti tentara.  Untunglah semua aman, syukurnya dalam hati.

Namun para anggota PLW masih keheranan.

“Bul, eta judul naon nu tadi?” tanya Wawan yang masih blank dengan skripsinya.

“Ah teuing atuh..eta aya dina bungkus kueh,” ujar Abul.

Gubrakkk!