Knowing trees, I understand the meaning of patience. Knowing grass, I can appreciate persistence –Hal Borland
Memanjat pohon di belakang kampus bukanlah sesuatu yang terlalu heroik namun para petualang di kampus kerap melakukannya sebagai salah satu bentuk latihan high rope. Beberapa pohon Angsana yang tumbuh di jalan Teuku Angkasa tak saja membuat kawasan itu teduh namun juga menjadi salah satu lokasi favorit untuk melatih skill high rope. Entah sudah berapa umur pepohonan yang memiliki tinggi sekitar belasan meter itu. Mungkin pohon itu sudah ada sejak kampus berdiri dan menjadi saksi sejarah pergolakan mahasiswa.
Tempat alternatif berlatih
Kampus yang terletak ditengah kota tak memungkinkan para mahasiswa dapat kapan saja pergi ke tempat-tempat berlatih yang representatif. Kala itu wall climbing masih merupakan sesuatu yang mewah, sehingga kampus kamipun belum memilikinya. Memanfaatkan apa saja yang ada di sekitar kampus merupakan pilihan terbaik sebagai bentuk simulasi sebelum terjun ke medan petualangan. Maka menara tower, pepohonan dan atap gedung menjadi sarana berlatih alternatif. Diantara tempat itu pepohonan Angsana di belakang kampus menjadi pilihan favorit. Selain teduh juga suasananya yang sunyi dan tak jauh dari warung.
Berbekal matras dan sebuah carrier berisi setumpuk peralatan high rope, ketika matahari mulai tergelincir ke arah Barat para mahasiswa melangkahkan kaki menuju tempat latihannya yang berjarak sekitar seratus meter dari sekretariat pecinta alam. Peralatan standar yang dibawa seperti carmantel, jumar, descender, carrabiner, figure eight, helm, pulley dan sebagainya. Setelah memasang instalasi masing-masing mendapat kesempatan untuk melakukan SRT (single rope technique). Latihan rescue pun sekali-sekali dipraktekkan.
Akrab dibawah pohon
Naik turun diantara batang pohon, terasa daun-daunnya membelai permukaan kulit. Aroma pohon, gesekan dedaunan dan suara-suara serangga mengiringi latihan yang dilakukan dan memberi sensasi tersendiri dibanding bila berlatih di menara tower. Kadang pepohonan itu terasa membelai kepala dengan daun-daunnya dan memeluk badan dengan batang-batang nya kekar. Sebuah belaian sayang seperti yang dilakukan ibu kepada anaknya dan pelukan hangat dari seorang ayah. Bagai seorang bayi yang haus kasih sayang, disitu kami merasa aman.
Karena instalasi yang terpasang hanya satu maka menunggu giliran bisa lama bahkan sering tak kebagian karena sudah terlalu sore. Namun tak menjadi masalah karena yang tak kebagian bisa kongkow saja duduk-duduk di matras sambil minum kopi yang dipesan dari warung. Kerap lebih banyak yang nongkrong saja sambil ngobrol ngaler ngidul ketimbang mengikuti latihan itu sendiri. Suasana yang teduh dengan angin sepoi-sepoi diantara daun dan pepohonan membuat beberapa orang akan terbawa ke alam mimpi. Mungkin hanya dalam mimpinya saja mereka melakukan latihan SRT itu.
Tentu saja yang selalu dengan senang hati menunggu giliran paling akhir adalah mereka yang biasanya lebih menyukai rafting dan gunung hutan dibanding caving dan rock climbing. Mereka dengan senang hati kongkow saja dibawah pohon tanpa kebagian giliran.
“Euweuh nu cukup harness na di urang mah,” Wawan memberi alasan.
“Sok we, keur maca teori na heula..” Adjat berkelit.
“Kagok keur mesen kopi,” seolah-olah Bar punya duit.
“Urang mah motret we ti handap,” Luthi selalu membawa kamera, supaya tak perlu naik.
Namun setidaknya kedatangan mereka telah memeriahkan suasana latihan.
Pohon-pohon yang bersahaja itu mengiringi pendewasaan para petualang dan membekali mereka tidak saja dengan skill yang diperlukan untuk menjelajahi tebing dan gua, namun juga mengajarkan rasa cinta alam. Berbekal latihan memanjat pohon, para mahasiswa bertualang ke tebing-tebing menjulang dan menjelajahi kedalaman gua-gua vertikal yang bagai tak berujung.