Ada Siapa di Rimba Latimojong

Agustus 1994 hujan mengguyur kembali di hutan. Baru beberapa jam meninggalkan desa Karangan di kaki pegunungan Latimojong, tim terpisah cukup jauh kedalam dua rombongan.

“Kalem we ngiuhan heula,” ujar Adjat santai sambil mengeluarkan dua botol Kratingdaeng. Sebenarnya ingin menarik nafas dari memanggul Karrimor Condornya yang berkapasitas badag enjum.

“Tah,Bar..sanggap,” ujarnya sambil melempar botol. Bar sigap menangkap…leguk..leguk.. yang juga mulai merasakan penderitaan dari menggendong Lafumanya yang menjulang tinggi.

“Barudak jauh teu nya?” gumam Adjat sambil menegak dopingnya. “Santai we lah paling panggih di flying camp,” ia enggan menembus hujan lebat dan jalur yang banjir. Setelah 15 menit menunggu mereka melanjutkan perjalanan mengejar rombongan di depan. Karena sudah terbiasa, mereka tak terlalu kesulitan membaca gerakan rombongan didepan. Hingga mendapati percabangan.

Sekilas Bar sempat melihat pergerakan di jalur yang ke kanan…namun ia agak ragu ,” naha pergerakan mah kawas ka kiri nya Beh?” gumamnya membandingkan trek kiri dan kanan. “Tapi tadi aya jelema da di hareup mawa ransel.”

“Tuturkeun we lah,” Adjat tak mau repot. Mereka pun mengambil jalur kanan mempercepat laju. Anehnya mereka tak bisa mengejar rombongan walau sudah curi-curi doping. “Gancang-gancang teuing eta nu di hareup,” gerutu Bar. Akhirnya mereka memutuskan istirahat lagi,

Grusak..grusak..tak berapa lama kala sedang tiduran tiba-tiba rombongan muncul dari belakang. Har…keduanya heran ,”Har sugan teh dihareup, Dod,” tanya Bar heran pada Dodi yang depan.

“Nyasar tadi di percabangan ka kiri,’ jawab Dodi masih hah heh hoh cape. Adjat dan Bar berpandangan. Jadi tadi siapa yang didepan?

Menjelang sore hujan semakin lebat di perjalanan, diputuskan membuat camp. Dua tenda dibangun tak jauh dari jalur lalu segera beristirahat. Karena pergerakan yang berat menembus hujan lebat, semua segera tertidur. Tengah malam, Akuy terbangun. Ia mendengar jejak-jejak kaki di jalur. Gelo, saha nu ngaliwat tengah peuting, gumamnya. Ia pun kembali tidur.

Paginya mereka berbincang ,”Aya rombongan ngaliwat tadi peuting,” ujar Akuy. Tapi yang lain tak mendengar.

“naek atawa turun?”

“kawas nu turun, da jiga gancang langkahna mawa ransel..tapi teuing oge,” ujar Akuy tak yakin.

Perjalanan dilanjut,mereka tak membicarakannya lagi. Namun kala memasuki trek lumut, ada yang sedikit mengganjal.

“Kuy, mun trek lumut kajejek pasti aya tapakna. Ieu mah euweuh,” bisik Bar. Enya oge,pikir Akuy. Semua pun berpikiran begitu, namun tak membicarakannya. Mungkin mengambil jalur beda.

Kala sampai di puncak Rante Mario, semua celingak-celinguk. “Naha euweuh jejak batur nya,” semua berpikiran sama. Saha nu ngaliwat ka camp atuh, pikir Akuy.  Kala hendak turun tiba-tiba Dodi terpikir sesuatu,” Bar, eta pendaki nu kaciri ku maneh ransel na warna naon?”

Ransel beureum..naha kitu?”

“Henteu..” ia seperti teringat sesuatu,”…ke we di handap,” lanjutnya. Sampai turun dibawah, mereka tak pernah membicarakannya lagi.