Catatan Si Jay

babehMan is condemned to be free (Jean-Paul Sartre)

Hingga tahun 90-an buku Balada si Roy karya Gola Gong merupakan buah tulisan yang cukup fenomenal, bahkan bisa dikatakan merupakan salah satu ikon di akhir 80-an hingga awal 90-an. Tema tulisannya yang egaliter dan avounturir memang terasa mewakili bagi mereka yang akrab dengan dunia petualangan. Beberapa rekan di kampus sangat fanatik dalam membaca episode hingga mengoleksi bukunya..

Darajat termasuk yang menggilai sosok si Roy karya Gola Gong ini. Sebuah buku Balada si Roy kerap terselip di dalam daypack-nya untuk bacaan di kampus. Mahasiswa FISIP ini bahkan berkeinginan kelak  menulis buku seperti Gola Gong dengan judul Catatan si Jay. Maksudnya Jay ini adalah sosok imajiner yang merepresentasi berbagai avounturir yang dilakoninya.

“Ngarah teu jiga teuing novel asli na” selorohnya.

Sebagai mahasiswa Darajat sebenarnya bukanlah seorang kutu buku, hobinya antara lain fotografi, traveling dan bertualang keluar masuk hutan yang jauh dari suasana akademis. Banyak waktu yang dilewatkan dari terminal ke terminal, dari stasiun kereta yang satu satu ke stasiun kereta lainnya bahkan antar pelabuhan laut. Berbagai petualangan membawanya singgah ke kota Krui, Surabaya, Makassar, hingga Dompu. Bahkan menuju tempat-tempat yang tak belum dinamai  dalam peta sekalipun.

Ia turut membidani lahirnya kegiatan arung jeram di kampus hingga dianggap sesepuh dalam bidang ini. Namanya pun cukup familiar bagi para penggiat arung jeram di kota Bandung. Saat perahu self bailing dan aluminium padle belum banyak dipakai, sungai  seperti Cimanuk dijelajahi dengan perahu LCR dan dayung kayu yang dipahat sendiri di kampus. Lucu juga bila mengingat hal itu, disaat mahasiswa lain sibuk membawa text book atau catatan kuliahnya kami malah memotong-motong kayu-kayu untuk membuat dayung. Bisa jadi kala itu mungkin kami disangka tukang yang sedang merenovasi kampus 🙂

Terpesona oleh pegunungan yang membentang di nusantara, gunung-gunung berketinggian di atas 3.000 meter di nusantara merupakan arena untuk menuntaskan hasratnya bertualang Darajat. Mengandalkan carrier Karrimor Condor warna merah buatan Prancis berkapasitas 90 liter, siapapun tak meragukan kapabilitasnya di lapangan. Menurut saya itulah model carrier paling elegan dan optimal untuk melakukan berbagai ekspedisi kala itu. Selain nyaman juga tangguh, padat dan berkelas.

Kekuatan fotografi Darajat pun patut diacungi jempol. Bermodalkan kamera Nikon SLR 35 mm ia kerap menjadi andalan dalam berbagai touring di alam liar.  Ia masih saja lincah memainkan kameranya pada suhu yang membekukan di puncak gunung atau saat cuaca buruk. Disaat yang lain sedang kepayahan dibebani carrier, naluri fotografernya masih sempat mengabadikan berbagai event selama perjalanan. Kamera Nikon itu pula yang setia menemani Darajat jepret-menjepret bila hunting foto di berbagai sudut kota. Ada sesuatu dalam jepretannya yang menurut saya membuat fotonya “berbicara”.

Pembawaannya sehari-hari yang kalem seakan menjadi garang oleh jip hardtop yang sesekali dipakainya. Siapakah yang meragukan kepribadian maskulin pada sosok dengan kemeja flanel, kendaraan four wheel drive lalu dengan tenang menghembuskan asap rokoknya. Bagai iklan-iklan rokok di televisi saja. Saya kerap ikut numpang Toyota Land Cruiser warna biru yang dibawanya supaya ikut terlihat macho di kampus  🙂

 

Kadang saya berpikir apa yang membedakan Darajat dengan sosok si Roy yang diidolakannya itu.  Berbagai petualangan yang kami lakukan, apakah karena ia mengidolakan sosok petualang seperti si Roy pada novel itu? Bisa jadi tanpa disadari seseorang dapat mengidentifikasi diri menjadi seperti sosok yang diidolakannya biarpun ia hanyalah sebuah sosok imajiner. Atau ia sekedar menemukan ikon imajiner dalam buku itu, yang mewakili hasratnya pada dunia petualangan. Entahlah, barangkali hanya Darajat yang tahu.