Kupikir aku tidak akan terlalu cepat mengunjungi peradaban. Aku belum bosan dengan alam liar; bahkan menikmati keindahannya dan kehidupan sebagai pengembara yang kujalani, semakin lama semakin dalam.. (Everett Ruess)
by Boedi Rahajoe
Boerahaj menenggelamkan dirinya ke dalam aliran sungai Pamerihan yang memiliki lebar kira-kira 30 meter itu. Karena sedang musim kemarau, lebar badan sungai yang dialiri air hanya sepertiganya saja. Aliran airnya sangat jernih, dengan kedalaman hanya mencapai sedikit diatas pinggang, hingga ia mampu melihat jari-jari kakinya dengan jelas. Kerikil serta pasir putih di dasar sungai pun tampak teramat jelas, menggambarkan betapa jernihnya sungai tersebut. Seolah sungai perawan itu dialiri oleh jutaan galon air mineral.
Surga di Pamerihan
Setelah sekian hari tak membersihkan diri karena berada di lingkungan gua yang kotor dan lembab, kesempatan ini ia gunakan sebaik-baiknya untuk membilas kotoran-kotoran di tubuh yang telah sekian hari tidak menyentuh air bersih. Betapa menyegarkan… Beberapa kali kepalanya timbul tenggelam menikmati kesegaran aliran sungai Pamerihan.
Setelah selesai membersihkan diri, ia duduk di tepian sungai sambil menikmati pemandangan di sekitarnya. Sejenak ia dijalari rasa takjub pada kerimbunan pohon yang begitu hijau dan pemandangan sekitar sungai yang begitu alami. Tiada pernah ia menemukan keindahan seperti ini sebelumnya. Beberapa lama pikirannya terasa sejuk, kosong, seolah terbawa suasana hutan yang damai. Lamunannya buyar ketika ia diingatkan oleh penduduk untuk segera kembali karena pada jam-jam itu adalah giliran gerombolan gajah menggunakan sungai untuk mandi dan minum.
Desa Pamerihan merupakan desa terpencil yang terletak di dalam Taman Nasional Bukit Barisan. Dari desa ini tim masih harus berjalan kaki beberapa jam menembus hutan untuk mencapai kawasan Way Babuta, tempat eksplorasi caving dilakukan. Perlu dua hari waktu yang dihabiskan sejak dari Kota Agung, Lampung untuk mencapai Pamerihan. Sebelum mencapai desa Pemerihan, tim melewatkan waktu satu hari bermalam di pos pemantauan PHPA di desa sebelumnya yang berupa bangunan rumah kayu sederhana dengan dua lantai. Dapat dibayangkan terpencilnya gua yang mereka tuju untuk eksplorasi.
Boerahaj masih belum dapat melupakan pemandangan dari teras lantai pos itu. Sungguh luar biasa indah, ia dapat leluasa menikmati keindahan selat Sunda dari teluk Lampung. Namun ketika sore hari menjelang, petugas PHPA melarangnya turun ke lantai bawah karena pada saat itulah si mbah –istilah penduduk lokal untuk harimau- mulai berkeliaran dan tidak jarang masuk ke pos pemantauan itu.
Expect the unexpected
Eksplorasi caving yang dilakukan di kawasan Way Babuta ternyata tak sesuai dengan yang diprediksi sebelumnya. Lima gua terbesar yang dieksplorasi timnya bukan merupakan gua vertikal. Peralatan yang dibawa untuk melakukan single rope technique teronggok percuma. Padahal tali carmantel, carabiner dan alat-alat lain nya memiliki berat yang bukan main. Jurus-jurus single rope pun seperti ascending-descending, rescue dan counter balance urung muncul disini. Toh hal tersebut tak menjadikan eksplorasi gua ini suatu kegiatan yang mudah. Terkadang ia menghabiskan waktu 18 jam di dalam kegelapan gua-gua demi melakukan pemetaan.
Namun Boerahaj maphum, disinilah letak seninya bertualang. Disaat informasi yang tersedia amat minim, para petualang senantiasa tetap terjun ke medan blank spot tersebut. Di saat demikian, prinsip safety prosedur ditaati dengan teguh. Lebih baik membawa peralatan yang kemudian tak terpakai daripada kekurangan alat pada saat dibutuhkan, karena satu saja alat yang tak lengkap dalam sebuah eksplorasi dapat berujung pada malapetaka. Boerahaj tak pernah melupakan salah satu filosofi kegiatan petualangan yang kerap disampaikan para seniornya yaitu expect the unexpected. Amatlah ceroboh bila menggantungkan keberuntungan kepada kemurahan alam. Setiap petualang harus menyiapkan diri untuk kondisi terburuk sekalipun.
Patrotisme dalam ekspedisi besar
Seminggu sebelumnya bersama sepuluh mahasiswa lain Boerahaj meninggalkan kampus untuk memulai ekspedisi Andalas. Kegiatan ini bertujuan melakukan eksplorasi caving di Way Babuta, panjat tebing di Serelo, Lahat dan susur pantai di pantai Bukit Barisan Selatan. Kesebelas mahasiswa ini merupakan tim ekspedisi pertama dari kampus yang memiliki misi eksplorasi beragam medan. Memang pernah juga ia melakukan eksplorasi caving ke tempat lain seperti Luweng Ombo atau Buni Ayu, namun bergabung bersama tim besar sangatlah lain sensasinya. Semacam rasa patriotisme yang tak biasa menjalari sekujur ujung syarafnya. Mungkin karena replika bendera merah putih yang dibawa oleh tim tersimpan rapi dalam carrier-nya.
Dengan memulai misi tersebut, ia yakin apa yang dilakukan the starting eleven ini akan menjadi inspirasi bagi tim-tim ekspedisi berikutnya dari kampus. Maka ekspedisi ke tanah Andalas di tahun 1991 itu ibarat pembuka jalan bagi ekspedisi-ekspedisi lebih besar dan ambisius di waktu depan. Seperti sebuah Kuda Troya yang mendobrak benteng kokoh tak tertembus. Puluhan ekspedisi lagi akan terlaksana setelah ini. Ia merasa terhormat menjadi bagian dari sekelompok idealis yang memulainya