Gagal ke Chamlang dan Lobuche East

lobuche

Sejak tahun 1993 pembicaraan membahas kemungkinan pendakian ke pegunungan salju mendapat perhatian banyak peminat. Beberapa puncak tujuan di Himalaya yang sempat hangat dibahas di kampus  adalah Chamlang dan Lobuje East.  Semua cukup sadar diri belumlah cukup umur menggapai ‘puncak-puncak kematian’ yang biasa diburu para pendaki elite.

Puncak salju Mount Blanc di Perancis sempat pula dibicarakan dengan serius, selain pegunungan Jayawijaya tentu saja. Namun kala itu hanya sebatas wacana karena pasukan yang aktif hanyalah para anggota muda yang baru lulus diklat 1-2 tahun kemarin. Masih perlu beberapa tahun lagi mereka menjadi petualang yang matang.

Bisa dibilang, sejak awal Bonk adalah yang paling getol mempromosikan pendakian puncak salju ini. Terutama ke gugusan pegunungan Himalaya.  Menjelang surut generasinya, Bonk menggiring semua yang masih bersemangat sekali lagi menuju puncak salju. Last attempt, why not.

Walau tanpa mendapat dukungan yang memadai, Bonk gigih meneruskan impiannya. Saking terobsesinya ia kadang membawa-bawa kapak es kemana-mana. Untuk menutup biaya operasional, Bonk cs melakukan apa saja dari menjual kaos, stiker, sampai berjualan baju bekas di emper. Proposal sulit dikeluarkan karena rektorat memandang sebelah mata, padahal biaya sudah diperas habis-habisan seperti ekspedisi PLW biasanya. Memang kala itu banyak yang menganggap PLW belum waktunya melakukan ekspedisi puncak salju. Belum waktunya kiss my ass..!

Hal itulah yang disayangkan banyak anggota aktif kala itu. Ibaratnya setelah gunung-gunung di Aceh hingga Sulawesi mengibarkan bendera, apalagi yang ditunggu. Setelah tebing di Lahat hingga Enrekang dijajal, kurang apalagi skill mereka. Sebagian masih melihat mereka seperti anak kemarin sore, padahal tahun itulah ‘the pack’ siap untuk meledak secara eksplosif, barangkali untuk yang terakhir kalinya. Sebelum mereka surut untuk mundur dari kegiatan kampus,harus  bekerja karena tuntutan hidup.

Walau minim dukungan, Bonk cs tetap maju jalan. Pada tahun 1997 persiapan panitia ke pegunungan Himalaya mendekati kematangannya. Seleksi fisik untuk atlet pun  dilaksanakan dengan ketat. Beberapa  peserta seleksi di lapangan Gasibu  terhuyung hingga muntah-muntah akibat ketatnya kualifikasi fisik yang distandarkan.  Walau tak ada kepastian ekspedisi terlaksana, semua tak mempedulikan dan tetap bersemangat. We may lost the battle, but not without a fight.

Namun pada akhirnya vonis final pun datang. Tanpa ada dukungan dari manapun akhirnya kelanjutan persiapan ekspedisi ke pegunungan Himalaya pun tak terdengar lagi. Sesuatu yang pahit untuk dirasakan. Semua termangu cukup lama, hanya bisa berterimakasih pada rekan yang telah saling mempercayai. It’s an honor.

Lalu tiap orang lulus kuliah satu per satu tanpa sempat mewujudkan mimpi membawa bendera ke puncak salju dengan sepatu crampon dan kapak es. Ekspedisi panjat ke Batu Unta (Bukit Daya) di Kalimantan menjadi pelampiasan kegagalan ke Himalaya bagi Bonk,  yang lain terhibur dengan ekspedisi Poligon tahun berikutnya. Namun tak semuanya merasa puas.

Kegagalan itu menggoreskan baret cukup berbekas pada anak-anak muda kala itu. Masing-masing merasakannya secara berbeda, ada rasa sedih, kecewa, marah dan penasaran. Mereka hanya semakin yakin, bahwa menggapai obsesi haruslah dengan perjuangan sendiri. Tak perlu mengandalkan siapapun. Mereka yakin suatu hari beberapa dari mereka akan sampai di puncak bersalju, entah yang mana. Baik sendiri maupun bersama-sama. Dan ketika mereka meninggalkan kampus, hanya ada satu hal di benak mereka. I shall return seperti kata McArthur, entah  mungkin 5, 10 atau 15 tahun lagi tak peduli. Because a promise is a promise.