oleh Dwi Jaya Siregar
Tepat jam delapan pagi, dua mobil angkutan desa yang biasa digunakan masyarakat kota Thakek tiba di rumah Om Edi, seorang warga negara Indonesia yang sudah sekitar 4 tahun bekerja di Laos. Semua peralatan dan perlengkapan segera ditata rapi ke dalam mobil, lalu kami pun mulai melakukan perjalanan menuju Boulapha satu jam kemudian.
Dalam perjalanan menuju Boulapha yang jaraknya 168 km dari kota Thakek, tersaji pemandangan indah berupa tower-tower tebing karst di sisi kanan kiri jalan raya yang dialui. Di permukaan tebingnya banyak di tumbuhi tumbuhan-tumbuhan liar.
Mentari yang hangat saat masih baru keluar dari peraduan perlahan beranjak kian tinggi, sementara mobil yang mengangkut kami melaju melewati jalan berdebu tebal. Jalan menuju Distrik Boulapha sangat berdebu, hal ini dikarenakan sekarang sedang musim kemarau. Jalan ini akan berlumpur tebal jika sedang musim hujan. Cukup lama untuk sampai di Distrik Boulapha.
Setelah makan siang di Boulapha, kami berhenti lagi di depan sebuah kantor untuk mengurus perijinan menuju desa Non Ping. Tak lama kemudian urusan perijinan selesai bersamaan dengan bergabungnya seorang guide wanita bernama Sam Phone. Selain Mr. Mee, guide yang telah bersama kami sejak dari Thakhek, dia yang akan membantu kami berkomunikasi dengan warga Desa Non Phing selama lima hari ke depan. Jalan menuju Desa Non Phing yang diapit oleh hutan kayu ini cukup terjal dan sedikit berlumpur sehingga mobil kami berjalan perlahan. Di tengah perjalanan, kami berhenti lagi untuk mengurus perijinan ke pihak polisi setempat. Tak lama kemudian, perjalanan dilanjutkan.
Menjelang senja, sampailah kami di sebuah desa dengan pelataran hijau yang luas terlihat. Inilah rupanya Desa Non Phing. Selama lima hari kedepan kami akan menginap di desa yang dihuni sekitar 22 kepala keluarga ini.
“Sabaidee!”, kami langsung disambut hangat oleh masyarakat setempat. “Sabaidee” merupakan kata sapa masyarakat Lao untuk “halo” atau “hai”.
Sebagian segera menurunkan perlengkapan logistik dari mobil, sedangkan sebagian lainnya bersosialisasi dengan penduduk. Semakin beranjak petang, kami harus menyiapkan genset yang dibawa sendiri dari Thakhek sebagai sumber energi penerangan basecamp dan peralatan elektronik lainnya. Di bagian dapur, beberapa anggota tim yang lainnya sedang menyiapkan makan malam.
Setelah makan malam, dengan bantuan kedua guide kami bersosialisasi dengan Kepala Desa Non Phing. Informasi tentang beberapa hal yang tidak boleh dilakukan di dalam gua, seperti: berbuat seksual, mengambil sesuatu dan membawanya keluar dari gua tersebut. Ternyata masyarakat setempat punya cara sendiri untuk menghormati gua.
Saat hari semakin larut malam, kegiatan hari ini ditutup dengan istirahat yang sangat diperlukan setelah perjalanan jauh dari Thakhek. Semua menyiapkan peralatan tidur alias sleeping bag masing-masing. Tak berapa lama satu persatu tertidur sambil memimpikan mulainya petualangan yang mendebarkan besok pagi.
Pagi pertama di desa Non Ping, semua bangun dengan cepat. Mungkin tak sabar untuk memulai petualangan besar hari ini. Mentari belum terlihat sempurna dan udara di Desa Non Phing masih terasa dingin. Secara umum, kegiatan di pagi hari ini terbagi dua, yaitu: meyiapkan makan pagi dan peralatan operasional.
Makan pagi siap terhidang di meja makan bersamaan dengan menggelembungnya inflatable kayak dan perahu karet. Setelah makan pagi, masing-masing tim menyiapkan perlengkapan untuk penelusuran. Semua perlengkapan penelusuran masuk ke dalam mobil dan menuju Gua Khoun Xe. Perjalanan dari basecamp menuju downstream entrance membutuhkan waktu + 15 menit menggunakan mobil dan + 45 menit berjalan kaki.
Tiba di sekitar gua, hijau dan jernih air Sungai Xe Bang Fai menyambut kedatangan tim. Mulut gua raksasa telah tampak didepan, terhalang oleh sebuah laguna yang hijau. Sangat menggoda untuk berenang-renang danmenikmati alam disini. Namun adrenalin yang menggelagak membuat semuanya hanya terfokus pada mulut gua. Time to eksplore..!