Rasa lelah yang mendera, cuaca di medan operasi yang tiada kunjung bersahabat, membuat akal sehat sulit bekerja normal. Temperamen senantiasa berubah cepat. Mood berubah-ubah dalam sekejap. Emosi dapat meletup, meledak setiap saat.
Pada saat itu kondisi Sukrisno tampaknya mulai melemah. Diare yang memabukkannya membuat dia berkali-kali kelimpungan mencari golok dan tempat untuk membuang hajat. Bau khas kotoran manusia yang sempat tertinggal di pakaiannya sudah menjadi wewangian yang karib pada hidung kami.
Entah apa yang menjadi pemicunya, Saya bersitegang keras dengan Sukrisno.
“Baleg maneh, bel !!!!!” intonasi tinggi saya tujukan padanya
“Sia nu baleg, anjing!!!!!” Sukrisno menyodorkan telunjuknya ke depan hidung saya
“Anjing!!!, Ribut jeung aing???!!!” saya tidak terima perlakuannya dengan sangat
“Sok…. Anjing!!!! Papaeh-paeh jeung aing????!!!” Sukrisno mencoba meraih golok di dekatnya
Bonk, Tera, Djeni dan yang lain mencoba menengahi…. Memisahkan dan menjauhkan saya dari Sukrisno
“Balikna, anjing!!!! Teu sieun aing…. Teruskeun…!!!!” Saya berusaha meredakan emosi, merubahnya menjadi dendam
Menjelang hari terakhir di MO, Sukrisno dievakuasi pelatih, dilarikan ke rumah sakit karena diarenya yang semakin parah. Ucapannya sudah meracau tak jelas.
Kang Edjie, Dansis kami, bercerita setelah pelatikan. Saat di dalam mobil menuju rumah sakit…. Sempat-sempatnya Sukrisno menyisir rambutnya yang mulai berpotongan panjang tak jelas sembari berkaca di spion, berulang-ulang…..
“Aing teh kasep geuningan….” Demikian katanya……. Berulang-ulang…….
Hari-hari terakhir di MO, saya belajar untuk semakin mengenali diri
Pelantikaaaaaannnnn…..!!!!!
Kami sudah tidak ingat jumlah hari saat di lapangan. Yang kami tahu, pada suatu hari kami kembali melakukan long march dari suatu daerah terpencil di Dago menuju kampus Dipati Ukur.
Menjelang mendekati Lapang Parkir Utara, Kami di-push pelatih untuk mengerahkan tenaga terakhir.
Kami berlari terseok-seok dalam barisan…….
“PALAWAAAAAAAA……!!!!!”
“PALAWAAAAAAAAAAAAAA……!!!!!”
Mulai sadar penuh bahwa ini adalah hari pelantikan membutakan kesadaran saya akan fisik yang lemah, kaki yang penuh lecet.
Sebelas orang berusaha berdiri gagah tegak di tengah lapangan upacara. Di hadapan kami ada Pembantu Rektor III UNPAD, para pelatih, puluhan undangan dari perhimpunan dan organisasi lain, sanak saudara serta ratusan pasang mata mahasiswa-mahasiswi yang terpesona.
Minggu, 12 Februari 1991….. saya merasa terhormat menjadi salahsatu perwakilan angkatan Cadas Panjang yang bersama dengan Eli, disematkan syal kuning Palawa, langsung oleh mendiang pak Himendra.
Detik itu, semua letih lelah, seluruh kedongkolan, segala dendam…. Musnah punah sudah.
Saya sudah menaklukkan sebagian besar ego terdalam dan meraih menjangkau titik terendah diri. Mengenali dan memahami diri sendiri….. melalui alam, guru terbaik….. semakin menyadarkan akan kebesaran Sang Pencipta.
Usai hingarbingar pelantikan, kami bersebelas dan beberapa pelatih berangkat menuju RSHS.
Satu syal kuning kebanggaan masih disisakan untuk saudaraku… saudara kami, Sukrisno.
Saya merasakan panas yang sangat di sudut mata ketika saya berusaha memeluk Sukrisno yang sudah mulai tampak segar.
Sepertinya kami berdua telah amnesia. Melupakan sejumput peristiwa yang nyaris dikenang sebagai hari berdarah.
Kami duabelas orang.
11 Februari 1991
CADAS PANJANG
Angkatan VIII PMPA PALAWA UNPAD
Secara fisik, mungkin kami berjauhan.
Namun, hidup bersama selama tujuhbelas hari di lapangan medan operasi, tidak akan pernah mendapat tempat yang layak untuk dilupakan.
-boerahaj PLW 24382058 CP-
*catatan : Tulisan ini merupakan sebagian penggalan ingatan pengalaman DIKLATDAS VIII berdasarkan sudut pandang dan sudut rasa penulis. Tidak diperkenankan untuk diperdebatkan.