Di jalan tanah yang lebih tepat kubangan kerbau itu hujan menderas dan menderas. Dimata membuat bilur, kabut di retina seakan kaca mobil yang tak memiliki wipper untuk menyapu bilur-bilur hujan. saya meraba-raba laksana si renta yang beringsut tak punya tenaga, ban motor sewaan ini lebih baik jadi kaki, biar bisa meloncat-loncat, biar bisa jinjit-jinjit saja, tidak tergelincir atau meleset salah arah, terpuruk ku di sini, bagai katon bagaskara. Kubangan bubur lumpur saya umpat tak membalas. Langit seakan jelaga, ada berton-ton kubik air ditumpah dari langit, engkaukah itu yang maha kuasa? lalu angin, membuat tulang ini gemeretuk : oh cacing-cacing jangan berulah, warung makan masih jauh di depan.
Sandai menuju Nanga Tayap, hujan ditengah jalan, jadi panjang perjalanan,meleset 4 jam lamanya. masalahnya tak lain, karena bukan saya yang naik motor, tapi motor yang saya seret. “Duh pilu sepertinya, hati sang istri, lihat suami banting motor, bukan banting tulang, meski sama saja maknanya yakni kerja dan sedang kerja. “nikmati saja,” pesan itu tak ada gunanya, saya tak menikmatinya.
tiba di Tayap – kota kecamatan – saya berbelok ke sebuah perbukitan menemui keuskupan. Ini bukan saya ganti agama, tapi untuk sekedar berteduh, meminta sedikit minum panas, sambil mencari keterangan tentang penelitian ini. Disinilah, paroki Nanga Tayap, semua menyambut terbuka, kamar mandi, kopi panas dan senyum ramah para Romo dan Aktivis keuskupan.
Lalu bermalamlah saya, diberinya handuk kering, dan tumpangan bermalam,bukan sejumlah uang,”besok saja lanjutkan, bapak bisa tidur dulu di sini,”
di keuskupan inilah advokasi dan pendampingan warga dayak tayap hulu yang bersengketa dengan perusahaan besar mendapatkan tempat pembelaan.Tanpa hiruk pikuk media, senyap namun bermakna. dan kenapa mesti berkoar lantang bahwa kita pembela rakyat. Ini pembelaan dan perjuangan kasih, demikian kata romo pada saya. Hingga tengah malam saya larut menyimak kata-kata beliau dan sampai saat ini, warga bisa menarik nafas lega, karena urung digusur perusahaan. Di tempat yang berbeda iman ini, saya diperlakukan penuh ketulusan. sekat-sekat agama luruh dalam kemanusiaan.
Esoknya saya balik, hari terang benderang, ku tanya langit, kenapa kemarin hujan, langit tak menjawabnya. ah biarlah, karena badan meterologi pun tak mungkin menjawabnya, meski saya punya no teleponnya.
melajulah saya, tepatnya motor sewaan saya, masih di jalan yang sama seperti kemaren, tapi ini arah sebaliknya. lalu disebutlah bahwa apa yang saya perbuat itu dengan gerak pulang atau menurut leluhur saya di England go back home (yang masuk putaran berikut mengalahkan Slovenia 1-0 barusan). Meski bukan pulang ke rumah, tapi pulang lagi ke sebadak raya, biarin, lanjutkan cari uang mang,mungkin besok dapat Range Rover, sambil gak jelas rasa, oleh rindu merindu suma dirindu, oh yehhh.