Hampir lima tahun berlalu sejak perjalanan susur pantai 1992 yang menggetarkan di Ujungkulon. Masih terbayang petualangan dramatis menyusuri pantai, muara dan hutan pesisir (lihat Penelitian Kiss My Ass ). Apalagi kala itu kami belum lagi meninggalkan predikat sebagai mahasiswa baru di kampus. Saya termasuk petualang yang masih hijau, gugup memasuki dunia temaram alam liar. Bahkan saya belum mengenal terlalu baik rekan-rekan seperjalanan. Barangkali kami memulai petualangan terlalu cepat, terdorong oleh api semangat yang berkobar-kobar.
Pesona pesisir Ujungkulon
Terhambat badai yang tak juga berhenti selama tiga hari – dan kelihatannya tak akan berhenti dalam beberapa hari ke depan – tim memutuskan pulang dengan cara melambung jauh dan diluar rencana sama sekali. Kami menumpang kapal barang yang kebetulan singgah di Tanjung Layar untuk drop logistik sebelum menuju mercusuar Krui di pesisir Lampung Utara. Betapa kebetulan, andai kapal itu tak berlabuh entah harus sampai kapan kami berada di ujung paling barat pulau Jawa ini.
Bagai jatuh tertimpa tangga, saat meninggalkan Krui jalur transportasi darat terputus di kecamatan Liwa akibat longsor dan gempa bumi. Seolah alam sengaja menghalangi atau menghambat kepulangan tim untuk pulang ke kampung halaman. Di hari terakhir perjalanan pulang ke Bandung tinggal sekaleng kornet sudah kadaluwarsa yang tersisa untuk dibagi makan bertujuh. Setidaknya masing-masing sudah susut dua kilogram berat badannya dibanding saat memulai petualangan.
Namun pantai-pantai di pesisir Ujungkulon adalah keindahan yang tak mudah dilupakan. Pesonanya begitu meresap sehingga selalu ada hasrat yang aneh untuk kembali bercengkerama dengan keindahannya. Barangkali keganasan cuaca kala itu tak lebih perlindungan seorang kakak yang melindungi adik yang disayanginya. Ia tak ingin sembarang orang terlalu mengenal adiknya yang cantik jelita karena khawatir malah akan menyakitinya. Tak heran kami diobok-obok cuaca ekstrim sepanjang perjalanan pesisir dan hutan. Namun hanya setelah itu, saya jatuh cinta kepada setiap jengkal tanahnya bahkan teman-teman yang baru sekali itu melakukan petualangan bersama bagai saudara lama yang telah sehati.
Sambutan hangat
Maka sebuah ajakan untuk kembali melakukan petualangan ke Ujungkulon tak saya lewatkan. Bersama Dudung, rekan yang dulu menemani perjalanan pertama ke sana kami bergabung dengan rekan-rekan lain yang menunggu di Jakarta. Karena waktu yang tersedia hanya tiga hari – mereka mulai terjerat rutinitas kerja yang menjemukan itu- petualangan kali ini bukanlah susur pantai seperti dulu melainkan hanya ke Tanjunglayar dan Pulau Peucang. Ah, biarlah setidaknya saya kembali bersua dengan pesisir Ujungkulon yang saya rindukan itu.
Bila dulu masih anak bawang yang gugup melihat cuaca buruk, kini kami memiliki moril yang tinggi menghadapi kondisi ekstrim petualangan. Empat tahun lebih mencicipi berbagai medan petualangan di nusantara merupakan waktu yang cukup untuk menggembleng rasa percaya diri di medan petualangan. Saya telah siap jika harus kembali menembus badai yang sama.
Herannya tak ada hambatan apapun sesampai di Ujungkuloan. Hanya angin sepoi-sepoi yang membelai, bukan badai yang mengamuk atau muara yang diluapi banjir bandang. Matahari besinar hangat seakan cuaca mencoba menebus kesalahannya saat mendera kami di sini empat tahun lalu. Kami merasa disambut hangat oleh sang kakak seakan ia tahu hanya yang benar-benar mencintai adiknya yang akan kembali untuk menembus badai yang sama empat tahun lalu. Kali ini ia hanya tersenyum dengan hangat, kami pun membalas senyumannya.