Pada awal bulan Desember 2011 lalu, Palawa Indonesia mengirimkan saya dan Erwin untuk menghadiri Konferensi Nasional PRBBK di Yogya. Adapun tujuan kehadiran Palawa Indonesia dalam konferensi tersebut, tentunya tidak semata untuk memenuhi undangan namun terlebih karena ada peluang pembelajaran yang luar biasa dalam kegiatan ini, adanya kesempatan mengetahui praktek2 terbaik implementasi konsep pengelolaan bencana dari para pelaku/praktisi di seluruh Indonesia selain itu juga membuka jaringan baru bagi Yayasan Palawa Indonesia kepada masyarakat pengelolaan bencana di Indonesia.
Walaupun kami yang dikirim ini memiliki pengetahuan dan pengalaman yang masih terbatas dalam hal pengelolaan kebencanaan. Bahkan latar belakang kami berdua pun sejatinya tidak kental sebagai aktivis kegiatan LSM yg biasanya merupakan garda terdepan aktivitas sosial kemasyarakatan. Saya sendiri nyaris 10 tahun lamanya berkecimpung di industri keuangan & perbankan, sementara Erwin juga sudah sekian tahun di industri agribisnis. Sehingga membayangkan akan bertemu dengan para pelaku/praktisi aktivitas pengelolaan bencana dari seluruh Indonesia cukup membuat adrenalin kami berdesir bak perasaan kala memasuki medan petualangan baru.
Singkat cerita, setelah acara pembukaan di hari pertama, kami sudah mendapatkan peluang pembelajaran langsung bersama komunitas penyintas erupsi merapi. Sehubungan pada konferensi kali ini, panitia memilih konsep ‘memasyarakat’ sebagai salah satu metoda dalam konferensi. Dimana peserta tinggal di keluarga anggota komunitas agar dalam waktu bersama tersebut dapat berguna untuk belajar ‘memasyarakat’ sekaligus belajar ‘bersama memasyarakat’. Istilah dan konsep ‘imersi’ dan ‘eksposur’ pun menjadi singgah dan akrab di telinga awam kami. Begitupun dengan berbagai macam istilah, konsep dan akronim2 kontekstual lainnya yang tentu pada awalnya terasa asing.
Walaupun waktu yang kami habiskan di komunitas tersebut amat sangat singkat. Namun pembelajaran yang didapat dari aktivitas tersebut tidak kalah dengan apa yang kami dapatkan dalam paparan-paparan dalam diskusi pleno maupun dalam diskusi kelompok. Bahkan bagi saya pribadi, informasi dan pengamatan yang didapatkan di masyarakat tersebut, justru menjadi kekuatan tersendiri dalam membangun pemahaman akan konsep PRBBK itu sendiri dan menjadi amunisi dalam dialog dengan sejawat dalam diskusi-diskusi. Tidak heran bahwa ternyata pendekatan memasyarakat ini terbukti cukup efektif dan telah menjadi aspek penting kegiatan penguatan masyarakat dalam banyak pendampingan di berbagai macam daerah.
Hari kedua, dimulai dengan rangkaian presentasi tiga makalah utama di pleno 1 yang membahas kebijakan, pendekatan dan upaya rehab-rekon berbasis komunitas yang dibawakan oleh para birokrat, deputi badan dan kepala dinas PU Propinsi. Kemudian dilanjutkan dengan rangkaian presentasi tiga makalah utama lainnya di pleno 2 yang membahas kebijakan membangun kembali dengan baik, rekonstruksi akses & kontrol lahan serta peran OMS dalam pemulihan pasca bencana. Satu catatan menarik saya dari rangkaian presentasi tersebut adalah bahwa ternyata tujuan yang harus dicapai dalam proses pemulihan pasca bencana adalah bukan sekedar mengembalikan kondisi masyarakat penyintas sebisa mungkin ke keadaan semula tapi justru menciptakan kondisi yang jauh lebih baik bagi mereka. Suatu pernyataan yang tadinya sempat tidak saya pahami ketika dikemukakan Sultan Yogya dalam sambutan pembukaannya, bahkan harus sampai 3 x lebih baik tegasnya. Dalam pemikiran saya, bilamana mungkin memperbaiki kondisi sampai berkali lipat, kembali ke keadaan semula saja akan sulit. Namun ternyata paradigmanya harus dirubah bahwa justru adanya bencana adalah suatu peluang dimana dimungkinkan tercipta perbaikan-perbaikan dalam segala aspek kehidupan masyarakat, yang tadinya tidak mungkin, karena bencana justru menjadi mungkin.
Setelah rapat pleno, kegiatan hari kedua dilanjutkan dengan aktivitas eksposur ke masyarakat dan dilanjutkan dengan diskusi awal dengan kelompok eksposur tersebut. Karena antusiasme saya melibatkan diri dalam diskusi dan mungkin dengan sudut pendekatan yang ‘berbeda’ dengan kolega yang lain dalam kelompok diskusi tersebut maka saya didaulat menjadi ketua kelompok pembahasan hasil eksposur.
Hari ketiga, diskusi mulai mengerucut kepada bagian-bagian yang fokus pada pembahasan topik tertentu dalam berbagai kegiatan pengelolaan bencana. Sehingga dibagi dalam kelompok-kelompok diskusi. Kelompok pertama membahas mengenai pemulihan bencana dalam perspektif anak dan perempuan termasuk mengenai intervensi psikososial dasar dan lain sebagainya. Kemudian kelompok kedua banyak membahas aspek teknis dalam metoda pemulihan bencana, dari mulai pemetaan potensi bencana, pendampingan sosial pada pelaksanaan pemulihan dan bagaimana membangun logistik bencana. Diskusi kelompok kedua diikuti oleh saudara Erwin, sementara saya terlibat dalam diskusi kelompok ketiga yang lebih banyak membahas aspek kebijakan dan implementasi PRB (pengurangan resiko bencana) dari sisi pemerintah daerah maupun pusat, termasuk ketersediaan anggaran dan pemanfaatannya. Bagi saya, duduk dan terlibat dalam diskusi kelompok tiga semakin membuka mata dengan kondisi pengelolaan bencana di Indonesia. Studi kasus bencana di Padang mengenai isu PRB ini yang disampaikan oleh pemakalah, kemudian dibandingkan dengan referensi pengalaman pribadi ketika terlibat dalam aktivitas tanggap bencana, kurang lebihnya memberi pembelajaran bagaimana peta permasalahan penanganan bencana di Indonesia.
Setelah diskusi kelompok fokus, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi lanjutan kelompok eksposur. Hasil diskusi ini, nantinya harus dipresentasikan malam itu juga didepan seluruh peserta. Maka sebagai kordinator pun tugas saya juga merangkap menjadi sebagai presenter. Syukurlah, dinamika diskusi menghasilkan hasil presentasi yang bisa dibilang agak unik & berbeda dibanding hasil diskusi kelompok lainnya. Bahkan yang sangat membanggakan, presentasi kelompok kami terbilang sangat menusuk dan cukup kontruktif, tidak sekedar memaparkan temuan tapi juga berusaha memetakan situasi yang terjadi, walaupun tentunya dengan waktu dan sumberdaya yang sangat terbatas, namun temuan2 dan rekomendasi dalam kelompok kami memberikan kerangka yang dapat digali & dikembangkan lagi dalam rangka implementasi PRBBK pasca bencana.
Dimunculkannya isu kritis akan kearifan lokal yang bersumber pada budaya masyarakat setempat berbenturan dengan upaya implementasi bersifat teknikal dari pelaku pengelola bencana, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, kemudian dikotomi PRBBK dalam konteks internal dan ekternal tersebut dalam aspek terpenting yaitu pelibatan masyarakat penyintas itu sendiri dalam mengatasi permasalahan pasca bencana dan kemudian peran vital akses serta aset masyarakat dalam pemulihan bencana yang kadang alpa dipahami secara cepat oleh pengambil kebijakan, padahal pemahaman akan hal tersebut juga dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa dan setidaknya membantu mempercepat pemulihan.
Ternyata bahwa kondisi kami yang datang ke konferensi dengan tidak membawa bekal pengetahuan teori, konsep dan metoda formal juga kurang didukung pengalaman khusus dalam PRBBK, sepertinya membuat kami sedikit lebih dapat menemukenali, memotret dan memunculkan PRBBK versi komunitas itu sendiri serta menemukan program apa yang berhasil dan apa yang kurang berhasil serta mengapa. Hal tersebut mengingatkan saya dengan akar studi antropologis yang induktif dan grounded yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada suatu, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori dan konsep formal.
Pada hari keempat, yang merupakan diskusi untuk pembahasan tindaklanjut sebelum acara penutupan. Situasi personal kami yang tadinya datang ke konferensi sebagai awam dalam hal pengelolaan bencana berubah menjadi lebih percaya diri. Respon dan penerimaan rekan sesama peserta lainnya pun menjadi sangat positif, baik dari kalangan pemerintahan maupun sesama organisasi/lembaga swadaya masyarakat sehingga secara tidak langsung memenuhi salah satu tujuan keikutsertaan kami yakni untuk meluaskan jaringan bagi organisasi.