by Riza Fahriza
“Gile, benar-benar ekstrem, tanjakan ini,” teriak anggota tim yang sudah berjalan di depan.
Beberapa orang tergelincir ke bawah, paling tidak sekitar 60 persen kemiringannya. Dicoba lagi melangkah lagi-lagi tergelincir, hingga akhirnya tiba di punggungan bukit. Membuat lega hati.
Perut yang baru saja terisi di camp II tepian sungai. Maklum tidur pun tak nyaman semalaman di sungai, terdengar suara beruang. Kontan, sebagian anggota tim dag…dig…dug mendengar nafas sang beruang.
Itu awal perjalanan panjang selama 27 hari untuk mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di puncak Gunung Loser (3.404 Mdpl), Aceh pada 17 Agustus 1999 dalam kegiatan Ekspedisi Poligon ’99 Kopassus bersama mahasiswa pecinta alam (mapala) sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta.
Jalur awal pendakian dimulai dari Desa Peulumat, Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan dan turun dari sisi tenggara melalui Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara.
Perwakilan mapala itu dari Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam Palawa Universitas Padjadjaran (PMPA Palawa Unpad), Mapagama UGM, Mapala UI, Aranyacala Usakti, Ranita IAIN Jakarta, Mapala IKIP Jakarta, Impeesa STIE Perbanas, Mapalaya Universitas Jayabaya, Girigahana UPN Jakarta dan STMIK Jakarta.
Serta lima anggota Kopassus, dan guide pendakian saat itu, Pak Hamid (75).
Awal pendakian dimulai dari Desa Peulumat, Dusun Gunung Rotan. Sebelumnya kami harus meminta izin kepada sesepuh masyarakat setempat dan memerintahkan kami untuk melakukan upacara berdoa dengan berdoa di Makam Teungku Peulumat dan Teungku Padang Ganthiang, agar dalam perjalanan nanti mendapatkan selamat.
Seusai berdoa diwajibkan untuk mengambil batu dari makam serta harus selalu bawa saat buang air besar atau kecil.
Memasuki H3 pendakian, hambatan pendakian mulai ditemui yaitu tersesat. Hal ini berkaitan dengan perjalanan H2 yang sempat menemui percabangan dan menjadi sengit antara wakil komandan dan pawang.
Solusinya, yaitu mengikuti langkah si pawang. Keesokan harinya, percakapan dengan dipimpin pawang namun setelah usut punya usut ternyata jalur yang dilalui adalah jalur kemarin.
Kenyataan ini dapat diberitahukan pada pawang namun tetap keras kepala bahwa jalur tersebut adalah jalur yang benar. Perdebatan muncul kembali, terkadang muncul perasaan sangsi apakah dapat menaklukkan puncak Loser. Baru beberapa hari saja sudah tersesat.
Setelah berputar-putar seharian maka dicoba untuk kembali lagi ke jalur semula atau kembali ke lokasi percabangan. Benar saja jalur yang kemarin memang salah dan seharusnya mengkuti jalur sebelah kanan. Hal ini terbukti ditemukan ‘string line’ bekas anak Stupala, Universitas Borobudur.
H6, perjalanan hingga Gunung Rotan. Benar saja nama ini sesuai dengan kondisi medan yang banyak rotan sehingga lengan mengalami “baret-baret” dan beberapa kali terdegar umpatan-umpatan. Terkadang kekesalan sampai mencapai titik nadir tatkala pakaian atau celana tersangkut rotan.
Selain rute yang ditempuh lumayan edan sampai-sampai harus memakai teknik “ducking” atau “scrambling”. Kami juga harus membawa beban logistik yang lumayan berat plus kompan 5 liter berisi penuh.
Kantung semar dan serangan tawon
H7, perjalanan benar-benar bertambah berat. Rasa haus mulai mencekik kerongkongan. Sedangkan sumber mata air belum juga ditemukan.
Karena sudah tidak kuat lagi menahan haus, tanpa basa-basi lagi, kami langsung minum air dari “kantung semar”, air lumpur atau lumut. Bahkan ide ini langsung ditanggapi dengan segera mengumpulkan udara yang diperoleh ke dalam botol.
Hal ini membuat perjalanan agak terhambat, karena sebagian anggota tim sibuk mengumpulkan air. Tak terasa pula, kami sudah sampai di Gunung Pilar I.
Di tengah keasyikan mengumpulkan air dari kantung semar, tiba-tiba puluhan tawon menyerang secara membabi buta.
Sejumlah anggota tim hanya bisa menangkis sembari berlindung di balik ransel, tapi serangan tidak berhenti juga. Sehingga kami harus berlari pontang-panting, untung saja setelah rilis ransel serangan itu berhenti. Hampir sekujur tubuh dari kepala sampai kaki bengkak-bengkak dan tubuh pun terasa panas dingin.
Kejadian tersesat kembali terulang di daerah “Gunung Setan”. Pergerakan sampai harus berputar sejauh 360 derajat, tapi anehnya tidak ada anggota tim yang merasakan kejanggalan hal tersebut.
Lucunya, salah seorang tim maju melaporkan bahwa di atas ada bekas bacokan pada pohon. Usut punya usut ternyata bacokan tadi adalah bekas bacokkan kita sendiri dua jam yang lalu.
Keesokan harinya musibah kembali terjadi di mana ‘Tim Advanced’ diserang puluhan tawon. Serangan ini membuat salah seorang anggota tim mengalami kondisi yang cukup parah.
“Serangan tawonnya luar biasa,” kata anggota tim lainnya.
Sabtu 14 Agustus 1999 tatkala sedang beristirahat, dari kejauhan terdengar raungan helikopter. Dan benar saja, heli datang tepat pada saat kondisi logistik mulai menipis.
Raungan heli lumayan memekakkan telinga dan daun-daun pepohonan bergoyang cukup keras. Saat itu pula, kami harus mencari lokasi perlindungan yang representatif. Bukan apa-apa lumayan juga kalau harus tertimpa logistik yang cukup berat itu.
Tak beberapa lama kemudian, hujan turun dengan lebatnya dan terus menemani kami sepanjang perjalanan. Beberapa kali tim harus melewati sungai yang berair cukup deras.
Beban bawaan bertambah berat setelah turunnya hujan sehingga jarak antar-anggota mulai menjauh satu sama lainnya. Namun begitu hujan berhenti, untuk pertama kalinya kami melihat puncak Gunung Leuseur setelah sekian hari berjalan melalui berbagai bentukan alam plus kabut yang dengan setia terus menyelimuti.
Batas waktu untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih hampir habis, sedangkan perjalanan masih jauh. Pada tanggal 17 Agustus pun, kami masih dalam perjalanan. Namun semangat untuk menggapai puncak, semakin bertambah tatkala melihat jenis tumbuhan yang mulai berganti.
Setelah melalui perjalanan yang di-push, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1999, tim ekspedisi tiba di puncak Gunung Loser. Hujan badai menyambut kami di sepanjang perjalanan pelana antara Puncak Loser dan Leuseur.
Untuk perjalanan pulang, akhirnya diputuskan untuk mengambil jalur dari sisi Tenggara dengan asumsi akan lebih cepat sampai dan kondisi medan yang ringan.
Namun pada kenyataannya, kondisi medan tidak kalah dengan penyediaan tim. Sepanjang perjalanan, hujan badai terus mengawal kami dan otomatis daya tahan tubuh benar-benar diuji. Hampir seluruh pakaian cadangan basah kuyup hingga perjalanan pun terhambat.
Tak terasa, kami sudah mencapai hulu Sungai Alas. Namun di lokasi ini pergerakan terhenti karena banjir bandang sudah menghalang di depan. Dua hari kami tertahan dan kondisi logistik semakin minim.
Akhirnya pada tanggal 23 Agustus 1999, tim ekspedisi selamat sampai di desa terakhir, yakni Desa Penosan, Kecamatan Kutapanjang atau Kota Panjang.