Perempuan dan Petualangan di Indonesia

butetJika ingin melihat lembah,
mari mendaki ke puncak gunung
Jika ingin melihat puncak gunung,
mari terbang ke awan
Jika ingin memahami awan,
pejamkan mata dan renungkan
(Kahlil Gibran)

 
by Saur Marlina Manurung

Petualang Mencintai Proses Bukan Target

Di Himalaya, sudah ada paket wisata terbang sekitar Puncak Everest dengan pesawat, sehingga tidak perlu capek2 mendaki dengan kaki, belum lagi peralatan yang ribet, waktu yang panjang, ancaman frosbite, dan udah gitu belum tentu nyampe… lagi. Tidak usah yang susah-susah kelas dunia. Ke Tangkuban Parahu di Bandung saja, juga bisa pulang pergi dengan mobil, tapi ada juga jalur trekking untuk pejalan kaki. Manakah yang lebih kamu
sukai? Dengan mobil atau jalan kaki?

Untuk orang pada umumnya mungkin akan bilang, tentu saja dengan mobil, hemat waktu dan tenaga, keluar uang sedikit tidak masalah…. Atau mungkin mereka bilang “tergantung”; artinya kalau ada waktu dan cukup sehat, mungkin sesekali bolehlah berjalan kaki, tapi kalau tidak, untuk apa?

Kenapa orang yang menyukai petualangan lebih memilih berjalan kaki? Biasanya orang mendaki gunung akan menyukai perjalanan, sejak dari persiapan, kelengkapan peralatan, informasi tentang lokasi, kesulitan saat proses pendakian mencapai puncak, turun dengan letih, dan pulang dengan senang. Proses lebih penting daripada tujuan. Lagipula tidak jelas, di mana letak tujuan itu, di awal, tengah, atau akhir.

Kalau orang tanya saya, kenapa saya suka mendaki gunung, saya menjawab, “Saya tidak suka naik gunung, yang saya suka turun-nya (mungkin karena saya manurung). tetapi untuk mengalami turun gunung, saya harus naik dulu kan? dengan susah lebih baik, sehingga bisa turun dengan santai dan lebih nikmat… tetapi saya mencintai perjalanannya secara keseluruhan!”

Petualang itu menikmati proses, karena petualangan bukan pertandingan, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan hemat waktu, tenaga atau produktivitas profit. Setiap perjalanan selalu berbeda rasanya, setiap detik berlalu dengan kesan tersendiri karena kita senantiasa bertanya2 apa yang akan terjadi di detik berikutnya, perasaan itu menimbulkan sensasi2 tersendiri yang biasanya membuat orang lupa rasanya, makanya orang
ingin alami lagi dan lagi.

Petualangan itu semacam kegiatan di mana kita tidak tahu ada apa di depan sana, tapi kita tahu ada kesulitan/resiko2/bahaya yang mungkin terjadi
atas kita, itu yang justru menjadi sensasi tersendiri. Terkadang kita punya
tujuan dari kegiatan tersebut, tetapi terkadang juga tidak, karena yang penting bukanlah target tetapi proses itu sendiri. Melakukan yang terbaik dalam menjalani proses itu yang penting, bukan hasil terbaik….

 

Ada Pembelajaran

Dalam dunia petualangan, kita mengalami banyak “pembelajaran”. Seperti evolusi yang lama kelamaan sempurna, petualangan membulatkan visi kita sendiri, misalnya tentang bagaimana kita memandang diri kita sendiri, memandang hidup, mengatasi rasa takut, tidak percaya diri, kuatir akan hari esok, bahkan bagaimana memandang cinta dalam arti khusus ataupun luas,
juga bagaimana bekerjasama dalam tim, menghargai pendapat orang lain. Semakin sering bertualang, semakin baik cara kita menghadapi kesulitan2. Orang bilang petualang adalah orang yang berani mati, mungkin lebih tepat dikatakan suka menderita. Seperti dikatakan Napoleon Bonaparte, bahwa sanggup menderita membutuhkan lebih banyak keberanian daripada sanggup mati.

 

Memunculkan Sifat Asli

Di alam, bersama teman2 selama 24 jam kali sekian hari, sulit bagi masing2nya menyembunyikan sifat2 terdalam yang biasanya mungkin tidak muncul. Pada saat nyasar di tengah hutan misalnya, reaksi2 setiap
orang akan muncul dan lebih memunculkan sisi lain dirinya : Si A mungkin mudah sekali marah histeris kalau ada yang bercanda saat keadaan genting, si B mungkin akan kencing di celana saat sangat ketakutan waktu nyasar, si C mungkin akan memakan seluruh makanan yang tersisia tanpa pikir orang lain. Setelah itu, beberapa orang bisa menjadi lebih cocok atau lebih tidak cocok, tetapi biasanya menjadi lebih saling memahami dan blak-blakan.

Betapapun menjengkelkan seorang teman, kebersamaan di alam bebas sulit untuk digantikan dengan pengalaman lain.

Di hutan, beberapa kali saya merasa ‘diselamatkan’ dan ‘dididik’ oleh murid2 saya, pengalaman itu tak mungkin saya lupakan seumur hidup saya… demikian pula dengan ‘kedegilan’, atau tingkah2 mereka yang antara dungu-nakal-cerdas digabung jadi satu plus kelemahan dan ketololan saya yang luar biasa, dipadu jadi satu, semua begitu penuh warna, hari demi hari bersama mereka di alam membuat hidup saya semakin sempurna.