Qurban for Merapi 2009

148673_465332008819_2729462_n

Letusan Merapi taun 2009 berbeda dengan letusan sebelumnya dimana daya destruktif dari letusannya kini jauh lebih besar sehingga menimbulkan korban jiwa lebih banyak termasuk Mbah Maridjan sang juru kunci. Radius bencana bahkan sangat luas yaitu 25 kilometer dari gunung Merapi, sesuatu yang tak pernah dijumpai dalam letusan-letusan Merapi sebelumnya. Korban jiwa mencapai 400 orang, belum lagi kerusakan akibat letusan dan banjir lahar yang hingga kini masih terjadi.

Bencana gunung meletus berbeda dengan bencana alam yang pernah sebagian dari kami terlibat sebelumnya seperti gempa, tsunami atau banjir. Sifat bencana yang “aktif” dimana sewaktu-waktu erupsi bisa terjadi membuat para relawan pun bisa menjadi korban seperti pada letusan Merapi sebelumnya.Berbeda dengan gempa dan tsunami dimana relawan relatif aman karena kondisi paling kritis biasanya sudah terlampaui, namun dalam letusan gunung berapi kita tak tahu kapan akan berakhir. Dalam bencana letusan gunung berapi, kita hanya bisa dengan sabar menunggu sang guru mereda amarahnya.

Beberapa hari setelah letusan Merapi sebuah forum tanggap darurat yang serius tapi santai berlangsung di di café Ngopdul disekitar kampus Dipati Ukur. Tempat ini dipilih sekedar untuk merepresentasi kampus tempat “base camp” kami dulu sering berkumpul dan merencanakan berbagai kegiatan.  Dalam perbincangan itu dipertimbangkanlah sebuah bentuk yang lain dari pemberian bantuan kepada pengungsi. Mengingat hari raya kurban yaitu Idul Adha  akan segera tiba maka dibicarakanlah mekanisme untuk berkurban di antara korban pengungsian di desa yang menampung korban letusan. Selain itu juga memberikan bantuan berupa keperluan sehari-hari bagi  korban pengungsi seperti pakaian, alat tidur, obat-obatan dan sebagainya.

Berkoodinasi dengan LSM  Sokola dan kontak-kontak Palawa yang sudah ada disana, sepertinya bentuk bantuan bagi korban bencana seperti demikian sangat mungkin dilakukan. Disamping itu program kurban untuk pengungsi juga merupakan mekanisme baru pemberian bantuan dimana kami bisa belajar sesuatu tentangnya, dan juga memiliki makna ibadah. Menolong sambil beribadah, kedengarannya seperti sebuah kombinasi yang hebat. I couldn’t agree more, demikian sebagian berpikir saat mendengar ide itu.

Kegiatan seperti ini akan membawa organisasi menuju “perbatasan-perbatasan baru” dalam sebuah operasi tanggap darurat suatu bencana. Program Qurban for Merapi ini diketuai oleh Luthfi Rantaprasaja sebagai project manager dengan melibatkan pihak-pihak lain seperti Sokola, posko pengungsi dan kontak-kontak di Yogyakarta.  Kambing atau sapi untuk kurban akan dibeli dengan harga yang pantas dari peternak setempat, disembelih serta dibagikan di desa yang merupakan salah satu desa penampung pengungsi.

“Indiana Jones”  kita , Dodi Rokhdian dan istrinya, Indit,  dari LSM Sokola sangat membantu kelancaran koordinasi penyaluran bantuan dan dana untuk kurban di desa pengungsi, sementara Ferry cs sangat berjasa mendistribusikan bantuan dilokasi. Tim  yang sudah ada disana tentu sudah tak perlu diragukan lagi kemampuannya.

Sebagai kegiatan yang baru dilakukan maka pun kami tak memasang target harus seberapa jauh bisa terlaksana, namun ternyata bisa berlangsung dengan baik.  Biarpun tak turun langsung ke lapangan, namun ini merupakan sebuah terobosan kegiatan yang perlu dikaji dari waktu ke waktu dengan seksama, dan lagi sudah ada orang-orang yang sangat berkompeten di lapangan.   Keberadaan kami disana tak akan memberi kontribusi yang lebih besar dibanding mengkoordinir dana dan bantuan dari Bandung atau Jakarta, untuk  memastikan tenggat-tenggat waktu yang kritis dapat dicapai.

 

Keterangan foto : 15 – 18 November 2010 – Sokola dengan Yayasan Palawa Indonesia dan Yayasan Kinar telah menyalurkan bantuan kemanusiaan dan penyaluran hewan kurban kepada para survivor bencana letusan merapi di daerah Muntilan dan Sleman.(Dodi Rokhdian)