Waktu itu hutan Rawa Ranca Upas dingin dan basah, ransel kami digeledah. Semua siswa diam pasrah. Di sekeliling pelatih berdiri memerintah.. “Tuan-tuan, sekarang materi surpipal, eh survival! harus sigap, tidak apatis, dan selalu mengingatkan saudara yang lain!“ Itu kata pak danops bonk. Tak ada makanan lagi kini di ransel, hanya golok, lilin, korek api, garam, dan ponco.
“Wah euy coklat cap jago aing” kata Wanbar menangisi makanan unggulannya. “duh euy havermut” kata Dudung dalam kata yang tertahan. “Duh sendal urang” itu kata Bar yang menyesalkan sendalnya juga di rampas. Sendal lebih penting buat Bar dibanding yang lain, itu karena sepatu lapangan dia sudah jebol sejak jauh-jauh hari sewaktu di buranggrang.
Kondisi kami memang ancur-ancuran dihajar alam, lelah, lapar,dan serangkaian pendisiplinan memasuki hari ke 17 diklatdas itu. Itulah hari dimana materi survival akan dimulai. Beberapa dari kami kondisi dunla (dunia lain), beberapa lemes kena diare, beberapa bengkak pipi dan bibir (mirip usro), beberapa ngaplek kurang gizi dan kasih sayang. Si dunla bengong-bengong, ditanya itu golok apa, dia jawab ‘golok tikukur’ padahal tikur itu gunung, bukan golok. “Siapa kalian!” seru pelatih. “Palawaaa” jawab kami. “Siapkan pakaian” seru pelatih akuy dengan iseng. “Palaaawa” seru Arif dan Peking, juga Kupil, juga yang lain.“Konsentrasi tuan!” kata kang Bano.
Itulah kami, Kawah Putih, bagai tentara separatis yang kelelahan dan kelaparan karena blokade pagar betis Siliwangi.
Hari pertama kami masih semangat, segala yang namanya pohon pisang (bahasa ilmiahnya cau) dibalak dan dicincang,”Hem kesed euy” Kata Wanbar, kesed itu bahasa Jerman yang artinya kesat atau berlendir. Sambil bilang kesed tapi Wanbar paling banyak mengkonsumsinya dan menyimpan bertandan-tandan pisang itu di bivaknya. “Rek dagang pisang goreng yeuh?” Kata Sobur ke arah bivak Wanbar. “Yeuh hayang mah kadieu Bur, keur nyieun kolek yeuh” sambut Wawan. Peking yang dunla,yang kehilangan konteks waktu, mengujar begini ”Emang si Wawan boga gula beureun kitu, hayu ah ka bivakna, aya kolek, hayu Dod” ajak Peking kepada ku. “emangna bulan romadon” Celetuk yang lain. Lalu malam itu kami tidur didalam bivak alam, lantai daun, atapnya pun daun, go green and freshing.
Besoknya mulai melemah. Bila sebelumnya segala pohon cau kita babat, honje kita sikat, maka hari kedua semua mengembangkan siasatnya. “Ayo dong bantu, cowok! bantu dong” teriak saudara putri kami yang sedang menebang pohon arben dengan sabetan parang yang lemah, maklum siswa. “kok gitu sih, bantu dong” trak…trak…trak ..trak bunyi parang bertalu-talu kepada. pohon arben yang mau ditebang lalu akan diambil arbennya (yang manis asem dan menyegarkan)
“Nggak ah, udah kenyang” kata Wanbar. “Sok aja, kita mah masih ada makanan” teriak Muhamadan dengan suara bas-nya. “Sok duluan, sedang buang air” teriak Opik padahal tak buang air. “Gak ah kalau nebang pohon mah, itu kan ilegal logging” itu kata saya dalam hati. Semua cowok KP berkelit dimintain bantuan. Para cewek penebang pohon malah terus menebang arben, meski lelah, lama, akhirnya berhasil juga.
Kerekekkkk … krakkk bunyi pohon arben mau tumbang. Para cowok mulai bangkit mendekat ke arah pohon. Buuum! Gedubrak! pohon arben dengan buahnya yang lebat akhirnya jatuh, diiringi keluarnya para cowok, yang tadi gak mau bantu, menyerbu ke arah pohon arben. Lalu diserbulah buah arbennya saja, batangnya tidak, berebut bersama para cewek yang akhirnya kebagian dikit. “Tuh kalian egois!” para cewek menggerutu, ada yang nangis, para cowok malah cekikikan sambil merapat lagi ke bivak masing-masing. “Dasar!”
Sore harinya, semua disuruh nyari makan lagi, kali ini mengeksplorasi sungai. “Weh aku dapat kodok, dapat kodok” teriak Flora kegirangan. Bergerak lah kami kearah Flora, “Wah itu beracun, jangan Flor bahaya, tuh keliatankan warna kulitnya” kata Bar seolah ahli biologi, yang di tegaskan lagi oleh Opik ”Iya Flor, buang aja” Flora bingung dan ambigu, di satu sisi dia lapar, di sisi lain takut kenapa-napa karena keracunan. “Ya udah aku buang” ujar Flora dengan logat negara Gombongnya. “Sini biar saya yang buang” kata Bar sok pahlawan. Flora buang kodok ke tangan Bar, lalu ia pergi ke arah hilir sungai kecil, untuk melakukan hunting and gathering lagi. Dan Bar-bar? Ia lalu gasak itu kodok, dibakar pake korek biar anget, lalu blem! Dia makan itu kodok hasil makan tulang kepada saudaranya. Kasihan Flora, kasihan si kodok.
Itulah survival, siasat bertahan hidup, yang waktu itu dimaknai sebagai multiform tactics atau beragam cara mengelabui. Malam semakin sepi (ya iyalah da di leuweung). Di kejauhan suara-suara pelatih pun senyap (yaiyalah da gak pake sound system).
Besoknya kami dilantik, kami saling berpelukan seperti teletabis,saling memaklumi, tanpa harus saling maaf atas kejadian yang telah terjadi. Sekarang pun begitu, kita saling bertutur kembali, diceritakan lagi, diungkapkan lagi,dibumbui lagi, ditambahi, dikurangi, karena selalu saja berarti. Itulah romantisme, dan saya percaya, itu bukan kejanggalan memaknai masa lalu. Lalu, kini, dan masa nanti, bukan harus dipisah-pisah kayak mie baso.
Untuk Para Angkatan Termuda : Selamat Datang Di Palawa Sepanjang Masa.