Kuterawang keindahan kenangan
Hari-hari lalu di mataku
Tatapan yang lembut dan penuh kasih…
Siapakah yang tak mengenal bait-bait syair dari lagu Melati dari Jayagiri yang diciptakan oleh Iwan Abdulrahman. Sepintas orang akan menyangka lagu ini bercerita tentang syair cinta atau tentang bunga melati. Namun sebetulnya melati disini merupakan perumpamaan yang melambangkan keharuman, kebanggaan dan keagungan. Lagu tesebut menggambarkan keindahan alam dan secercah harapan di tengah kesunyian malam. Lagu Melati dari Jayagiri –seperti lagu yang lainnya – memiliki filosofis dan spritualitas tinggi yang menggambarkan pula kedalaman penciptaannya.
Di barak tentara
Aula barak yang terletak di sebuah bukit merupakan ruang semi terbuka dimana tak ada kaca yang menahan angin serta hawa dingin yang menghembus dari gunung. Pada bulan November 2008 acara riung mungpulung para legiuner petualang berlangsung di sebuah barak tentara di kaki gunung Salak. Di belakang barak kita dapat melihat lembah yang cukup luas sebelum kembali dibatasi oleh dinding bukit yang menghijau. Semakin malam semakin banyak para sejawat yang datang ke barak dengan menembus kegelapan hutan dan cuaca gerimis.
Namun udara yang menggigit saat itu tak dapat mengalahkan keriangan yang dibawakan oleh Abah, malah meningkatkan kesyahduannya hingga kadang saya merasa kegaiban tersendiri. Bagi Iwan Abdulrahman (61) berada di antara keluarga besar PALAWA UNPAD dalam keheningan dan udara yang mengigit di Gunung Bunder merupakan bentuk kesetiaannya pada idealisme persahabatan, cinta alam, dan nasionalisme.
Kami merasa mendapat kehormatan dapat langsung mengobrol dengan salah satu legenda hidup dalam dunia petualangan di negeri ini. Namanya senantiasa terngiang oleh setiap mahasiswa di kampus karena Abah –panggilan akrab Iwan Abdulrahman- adalah pencipta hymne civitas akademika yang setiap tahun dinyanyikan masiswa baru maupun lama. Setiap kali mendengar lagu-lagunya saya merasakan rindu yang melelahkan pada berbagai hal suasana kampus, persahabatan hingga berbagai petualangan yang kerap kami lalui.
Lagu-lagu Abah
Abah bertukar hati tentang nasionalisme, cinta tanah air hingga menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya. Dengan caranya sendiri ia menghentak batin yang mendengarkan dengan lagu-lagunya seperti Balada Seorang Kelana dan Sejuta Kabut. Di sela-sela menyanyikan lagunya ia menyampaikan berbagai pergulatan emosi yang menyertai penciptaannya. Setiap lagu mewakali suatu kreasi batin yang mendalam dan Abah merangkum catatan waktu yang panajng itu kedalam petikan-petikan yang bermakna.
Ia bercerita tentang rivalitas yang memerah dan tak berujung antara mahasiswa dan tentara. Korban berjatuhan walau disebabkan hal yang sepele seperti pertandingan voli. Sebagai insan kampus yang memiliki banyak pertalian dengan kalangan tentara ia merasa sangat prihatin dan ingin berbuat sesuatu untuk mengharmoniskan hubungan itu. Dalam suatu kesempatan Abah diundang oleh kalangan tentara untuk tampil dan ia membawakan sebuah lagu -kalau tidak salah Balada Seorang Kelana– yang dinyayikan dengan sedikit gubahan dan penuh persahabatan. Lagu yang dibawakannya ternyata berhasil mencairkan suasana perseteruan antara kampus dan barak. Semua yang hadir tak kuasa menahan matanya untuk tidak berkaca-kaca. Mungkin Abah mengangkat cerita itu karena tempat pertemuan ini juga berlangsung di sebuah barak. Derap baris tentara yang sedang berlatih di kegelapan kerap terdengar di sekitar barak sementara kami berkumpul di dalam aula.
Tak ada yang beranjak selama Abah asyik bernyanyi sambil berceloteh penuh kehangatan dengan sahabat-sahabat lamanya hingga tak terasa bahwa malam semakin larut. Kadang saya berpikir bahwa lagu-lagu Abah akan lebih meresap ke hati bila dinyanyikan dalam suasana seperti malam ini. Saat kabut tebal mulai merayap di tanah dan udara malam terasa makin mengigit permukaan kulit. Disinilah letak keindahan lagu-lagu Abah semakin terasa kekuatannya.
Sayang Abah tak dapat ikut menginap di barak karena akan langsung pulang ke Bandung. Menjelang tengah malam Abah dan teman-teman dari Wanadri berpamitan dengan dilepas perasaan yang mengharubiru dari semua yang hadir. Mobil Landrover yang ditumpanginya perlahan menembus kegelapan hutan pinus dan kabut tebal diluar barak. Seperti dalam lagu Sejuta Kabut, kabut yang menghalangi itu terlindas oleh lajunya mobil. Awan tipis itu pun menepi dari jalanan sejenak seperti masuk ke dalam hutan untuk kemudian kembali menghalangi pandangan. Dingin mulai terasa di sekitar kami.