Sombrero Pak Sekdes – Kisah World Cup di Nanga Tayap

36709_1405845319692_2925505_nby Dodi Rokhdian

Hari itu pak sekdes lewat, gayanya bolehlah, celana kargo berwarna gelap, topinya meniru-niru mode topinya che guevara – sang nabi kaum proletar, untuk gayanya tersebut itu pak sekdes bolehlah disebut ‘gaul’meski ia menunggang motor plat merah, yamaha inventaris milik desa. Ia bilang mau ada urusan bukan mau trektrekan di jalan atau mau mejeng.” Mau ikut gak Pak Dodi?” Katanya mantap masih dengan senyum sambil mengedipkan mata. Duhai pak sekdes apakah makna kedipan mu itu? Apakah engkau tertarik pada mahluk sesama jenis (dibantah karena ia mau menikah)? Atau hanya kedutan mata biasa? Atau engkau sedang berencana melakukan sebuah persengkongkolan? Ah begitulah si saya ini yang selalu menelisik makna dibalik apapun, dari subjek-subjek penelitiannya. “Mari kalau mau ke sandai, saya kebetulan mau ke luar, ada perlu ke kecamatan” katanya. Oh terjawablah apa yang dia kedipkan, pak sekdes mauk ke kecamatan, itu memang urusan sekdes, karena besok ada pemilihan bupati ketapang.

”Saya mau ambil logistik TPS di sana” Ujarnya lagi.
“wah gau mau pak kalau ambil logistik,itukan mencuri, takut ketauan pak, nanti gimana kalau dilaporin polisi?” Ujar saya lugu dan gak mau diajak-ajak ambil sesuatu yang bukan hak-nya.
“Enggak lah pak dodi, ini resmi, maksudnya ambil jatah desa, nih suratnya, itu pak camat suruh saya ambil,”
“kirain bapak mau ambil gitu aja, kan itu dosa pak,” Ujar saya lagi.
“Wah pak dodi ini, becanda aja, masa mencuri, mau ikut gak?” serius itu pak sekdes meski tak diselingi dengan mata melotot karena mungkin takut ditanggapi lain oleh saya.
“Pak, tunggu yah saya ikut, mau tidur dulu agak tiga jam” Ujar saya.
“weh jangan pak dodi, kalau gitu saya duluan” Ujarnya serius sambil kesal kayaknya.
“eh, enggak pak, saya ikut sampai sandai, baru di sana saya tidurnya kalau gitu, bolehkan pak tidur di sana?” Pak sekdes tak menjawab, karena itu hak asasi pak dodi, begitu mungkin yang ingin diucapkannya, kumaha maneh deh (mungkin itu pula yang ingin diucapkannya dalam hatinya).

“kok mau sih disuruh-suruh pak camat pak, sewenang-wenang begitu, bapak kok diam aja,” ujar saya memprovokasi pak sekdes agar bersikap kritis. Yang diprovokasi diam menghela nafas, mungkin dia tak punya keberanian untuk melawan atasannya tersebut, atau mungkin dia kesal pada saya yang tak berbudi luhur dan tak mengerti bahwa sekdes itu harus nurut pada atasannya. “Namanya tugas pak dodi, yah bagian dari pengabdian lah” katanya mantap berfilosopis sumadiropis.

Begitulah aparatus desa di sebadak raya ini, tulus mengabdi demi tanah air desa-nya, dan tak terpengaruh anasir-anasir dan hasutan, yang sengaja saya hembuskan sekedar menguji kepatuhannya saja, bukan bermaksud menggoncangkan struktur pemerintahan kecamatan, Suerr.

itu yang disebut sandai adalah kota kecamatan, tempat biasa saya transit sebelum ke lokasi, sementara itu sekdes mau ke Nanga Tayap tempat dimana ia berkordinasi dengan atasannya pak camat yang akan dia ambil logistik TPS-nya. Sandai agak berlainan arah sedikit dari tujuan sekdes, tapi sekdes memang baik, ia mau mengantar saya dulu ke sandai lalu ia ke Nanga Tayap sendirian ditemani motor inventarisnya, ah seandainya motor itu bisa bicara, tentu pak sekdes tak kesepian.

Saya memang merencanakan keluar bentar sehari dua hari, mau beli rokok yang di desa tak ada rokok kesukaan saya itu, selain itu saya refresing mau nonton bola, karena tanggal ini putaran memasuki final. “kata orang Spanyol masuk final, lawan Belanda yang dibenci para veteran perang republik indonesia” Itu omongan saya di atas motor inventaris desa bersama pak sekdes yang motornya berjalan tidak kencang tidak laju, diatas jalan tanah yang licin, licin bukan karena disetrika, tapi karena tadi malam hujan lebat.

“Pak sekdes pernah ke Spanyol gak?” Yang ini saya tanya ke sekdes diatas motor – tepatnya diatas joknya.
Pak Sekdes jawab begini,”belum pernah, pak dodi pernah?”
“Mau pak, nanti lah kalau tabungan sudah ratusan juta, saya mau kesana” ujar saya.
“Oh gitu, ada apa di sana?” ujarnya
“kakek di sana,?” jawab saya
“wah hebat, kakeknya pak dodi?”
“bukan, kakeknya Xavi Hernandes” Ujar saya lagi.
“siapa Sapi Hernandes?” Ujarnya lagi, “Bukan Sapi Pak sekdes, Xavi” Ujar saya. “Oh Xavi, Teman yah?” tayanya lagi. “Bukan pak” jawab saya. “Loh kok bukan, kenapa ke spanyol?” ujar dia. “Terserah saya dong pak” jawab saya lalu sekdes diam, diam seribu seratus bahasa.
Tibalah kami di Sandai, makan siang dulu, lalu dia pamit ke nanga tayap. “pak dodi, saya pamit”
“Oke pak, pamit itu sombrero dalam bahasa spanyolnya” Jawab saya.
“oke, saya sombrero dulu pak dodi” ujarnya keras, untung gak ada orang spanyol, kalau tahu gimana gitu.
“Oke beraho pak” ujar saya pake bahasa spanyol. “oh beraho itu silahkan yah” kata sekdes.
“bukan pak, beraho itu selamat jalan” ujar saya

Dan sekdes pun sombrero, lalu saya pun mencari nginap, mencari nginap untuk Beragado iba-iba Andre-Andre (nginap tidur lalu bangun malam untuk nonton final spanyol –belanda) yang kemudian hasilnya sangat membuat saya sombrero (senang bukan kepalang)

(Spanyol 1 – Belanda 0).