Suatu hari yang basah ditahun 2008 saya menghadiri diklat dikedalaman hutan Leuweung Tengah. Ditengah kegelapan malam setelah hujan, perlu hampir satu jam menembus setapak berlumpur hingga sampai di flying camp. Walau jauh dari kenyamanan, suasana medan operasi adalah yang dirindukan semua orang. Ketika kita tak saja bersua dengan para kamerad lama namun juga dengan sosok sendiri diwaktu lampau. Kadang kita lupa sosok seperti apa kita dulu hingga jadi yang sekarang ini. Untuk mengingat bagaimana sosok kita bertahun-tahun yang lewat, pandanglah barisan siswa yang berbaris tegap. Tak mudah diguncang badai, tak mudah dihempas angin.
Tak disangka bahwa salah seorang dari siswa itu, Ari Kadarisman, sebelas tahun kemudian dipanggil Yang Maha Kuasa. Kepergiannya mengingatkan pula kepada mereka yang juga telah tiada yang mana saya hadir dalam diklat-diklatnya. Mareka yang dijumpai dimedan operasi tak pernah mudah dilupakan.
Memori saya mengenang mereka yang telah berpulang itu : Rio, Diki, Yulia, Wilson, Ari dan yang lain sebagai pribadi-pribadi yang tangguh. Terlepas dari sakit dan penderitaan yang dialaminya, semua tak ingin memperlihatkannya. Apakah itu pengaruh dari diklatnya, atau mereka memang sudah menjadi pribadi yang tangguh sebelumnya. Apapun itu, selalu terbersit ketidakpercayaan saat mendengar berita dukanya.. how could such a man and woman die?
Bagaimana mungkin para pejuang yang tangguh bisa berpulang? Walau ikhlas sudah takdir selalu ada rasa tak percaya yang mengkhianati. Perlu berhari-hari untuk mencerna kepergian mereka, setelah hilang kelu dilidah untuk berucap dan kebas dijemari untuk menulis. Namun satu hal yang pasti bahwa mereka tak mengalah dengan mudah.. not without a fight. Kepergian mereka mengingatkan kita betapa hebat perjuangannya dan betapa hidup sungguh sangat layak diperjuangkan. Kepulangan mereka telah ikut memberi arti pada hidup kita. Selamat jalan para pejuang.