Keunikan organisasi pecinta alam tidak terlepas dari sejarah berdirinya organisasi kepecintaalaman di Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an. Berbeda dengan kultur outdoor di Amerika Serikat di periode tahun 1950-an dan 1960-an yang lebih berbasis aktivitas keluarga (Tsing, 2004).
Di Indonesia, kegiatan outdoor ini diprakarsai oleh sekelompok pemuda, menjadi aktivitas khas anak muda dan karenanya memarak di kampus-kampus perguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Di samping banyak juga kelompok pemuda atau komunitas di luar kampus yang mendirikan organisasi pecinta alam.
Pelopor organisasi pecinta alam yang sama-sama berdiri di tahun 1964 adalah Wanadri di Bandung dan Mapala UI di Jakarta. Walaupun berdiri dalam waktu yang relatif bersamaan, nuansa sejarah yang melatarbelakangi pendiriannya cukup berbeda yang mempengaruhi kultur keorganisasian antara keduanya.
Wanadri lahir dari para pemuda yang memiliki latar belakang kepanduan dengan semangat kepetualangan alam bebas yang militan. Sementara Mapala UI didirikan dari para aktivis mahasiswa sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim politik yang penuh intrik kala itu, juga sebagai perwujudan kebebasan sipil terhadap doktrin militerisme yang dianggap tidak rasional (Utomo, 2014). Kedua organisasi ini masih berdiri dan bisa dibilang masih menjadi market leader untuk kegiatan kepecintaalaman di Indonesia.
Selanjutnya di periode tahun 1970-an mulai bermunculan pembentukan organisasi mahasiswa pecinta alam di kampus-kampus besar di tanah air.
Sementara gelombang berdirinya organisasi mahasiswa pecinta alam di beberapa kampus lainnya semakin memarak ketika kegiatan kepecintaalaman sedang memasuki masa puncak kepopulerannya di periode tahun 1980-an. Ketika tren sudah terbentuk membuat aktivitas menjadi semakin populer hingga pada periode tahun 1990-an hampir semua kampus memiliki organisasi pecinta alamnya sendiri (Tsing, 2004).
Sebagai organisasi intra kampus, mahasiswa pecinta alam (Mapala) ada dalam naungan Universitas. Secara kultural, jati diri Mapala lebih dekat pada karakter nilai & aktivitas organisasi kemahasiswaan, sebagai bagian dari masyarakat kampus yang ilmiah. Namun demikian, sebagai organisasi pecinta alam dalam konteks sosial maupun kultural ada juga yang justru jauh lebih dekat pada model organisasi kepanduan seperti Wanadri yang sebenarnya merupakan organisasi pecinta alam non kampus yang terbuka untuk masyarakat umum. Berbeda secara mendasar dengan Mapala yang hanya dikhususkan untuk mahasiswa yang bahkan harus diterima masuk perguruan tingginya terlebih dahulu untuk bisa bergabung ke dalamnya.
Spektrum kedekatan secara kultural tersebut bisa dipahami karena posisi organisasi-organisasi pelopor yang dominan, sehingga mempengaruhi orientasi para pendiri organisasi yang baru didirikan kemudian. Keterlibatan secara personal beberapa anggota perhimpunan umum, baik langsung sebagai pelatih maupun tidak langsung sebagai teman berdiskusi, semakin mewarnai corak organisasi Mapala berbasis kampus lainnya.
Pengaruh difusi itu bisa dilihat dari pola perekrutan, sistem keanggotaan, mekanisme pembinaan organisasi, pola hubungan yang tercipta dan lain-lain yang ada kemiripan antara organisasi kepecintaalaman yang satu dengan yang lain. Memang kultur organisasi berasal dari pengaruh 3 aliran nilai-nilai yang dominan yakni; nilai & visi para pendiri, lingkungan sosiokultural dan dinamika organisasi sebagai respon adaptif dari situasi yang merangsang tindakan & reaksi (Pant, 2014).
Penulis : Luthfi Rantaprasaja
Pernah dimuat di media AntaraNTB, 3/12/2022