“Aya naon kitu di Guangzhou?” tanya Dudung skeptis ketika pertama diajak ke kota itu.
“Aya Afrika hideung,” jawab Bar sekenanya. Padahal ia juga belum pernah kesana.
Salah satu yang menarik perhatian milisi budget ini pada kota Guangzhou, adalah keberadaan koloni Afrika dalam jumlah yang cukup besar di kota ini, sehingga kawasan tempat mereka tinggal pun sering disebut Little Afrika. Maka jangan heran bila di pertokoan kota Guangzhou akan mudah ditemui orang-orang Afrika yang hitam legam. Bukan bermaksud rasis, hanya untuk membedakan dengan ras Afrika lain di Utara yang lebih Arabik. Mereka berkoloni disini untuk mengirimkan barang ke negerinya seperti Nigeria, Kenya dan lainnya. Cina adalah partner utama Afrika dalam perdagangan, yang satu kelebihan barang produksi yang satu haus akan barang. Klop.
Akhirnya setelah ditipu supir taxi, tak menemukan hotel yang dicari dan berputar-putar tak keruan karena tak dapat membaca arah jalan yang semua memakai huruf Cina, mereka toh masih survive hingga kini sedang ngopi di restoran Mc Donald yang banyak dijumpai disini. Bukankah itu inti dari backpackeran: survive. Kalau dinosaurus dulu backpackeran, mungkin mereka juga bisa survive sampai sekarang.
“Kalem we, da lamun mimiti datang turis mah sok katipu bae, jadi anggarkeun we jang katipu’” ujar Bar santai. Dudung mengangguk lemah, masih belum rela yuan(CNY) nya diporot supir taxi.
“Mun embung katipu mah kudu make travel agen”, lanjut Bar. Benar juga, pikir Dudung, namun bila melalui travel tentu biaya-biaya akan berlipat dibanding dengan backpackeran seperti ini. Jadi biarpun ketipu, tetap lebih murah. Dudung kembali berseri-seri. Pengalaman pertama tak selalu mengasyikan, namun menjadi modal berharga untuk perjalanan quantum leap selanjutnya