text & photo by Dodi Rokhdian
Burung rangkong menderu mengepakan sayapnya, dari langit barat yang gelap ia melintas pulang ke langit timur menuju hutan di perbukitan sebekayan. Kesanalah juga arwah kami bersemayam, gunung sebekayan, surga orang dayak, tutur seorang prodiakon – pewarta katolik pada saya saat berjumpa di ujung setapak luas menuju perkampungan. Itu pemandangan langit pertama di tempat yang akan menjadi arena penyelidikan saya dalam tugas yang amat menantang ini.
Surga buat nya, adalah surga lain bagi saya, saya dimanjakan romantisme alam. Di cakrawala sana, dusun Kebuai, Desa Sebadak Raya, nampak redup dinaungi lembayung, melilit-lilit padanya sungai tayap yang digelitiki anak-anak sungainya : temoni di barat, kebuai di tengahnya, tanjung bunga di barat daya, lalu nan jauh di ufuk selatan sungai kayung menjadi muaranya.
Alasan apa untuk tak menolak berada di pemandangan penuh takjub ini, meski nan jauh di sana, terhalang samudera luas, berjarak ribuan kilometer, sang mentari terindah akan membuat rindu merindu tak ada obat. Hai yang selalu tersenyum di dompet, apakah cukup mengobati kerinduan ini. “bang saya pulang, bang” Ah dasar tukang ojeg, engkau bukan pamit sekedar pamit, engkau lupa saya bayar. “maaf yah, maklum baru nikah,” jawab saya sambil menyodorkan dua ratus ribuan. “saya ngerti bang, saya juga punya istri kok” katanya basa-basi seolah sama pengalaman rindu dia dengan pengalaman merindu saya. Tentu tidak, istri si ojeg hanya di kampungnya berjarak 4 jam-an, sedangkan istri saya lebih jauh darinya dan lebih cantik pastinya.
“Sombong kamu” tutur hati kecil saya, kepada saya, seolah dia bukan bagian dari saya. obrolan itu tak perlulah di bahas, karena yang tahu hanya saya dan hati saya, apalagi engkau tukang ojeg, jangan pernah terlibat dalam obrolan itu, cukup kembalikan sisa uang yang saya beri tadi sebesar dua puluh ribu rupiah. “Ini bang kembaliannya, terima kasihnya’ tuturnya sambil melaju pulang ke istrinya (kalau ia memang mencintainya).
Minggu-minggu ini saya meleburkan diri saja, ikut gerak kesehariannya saja, dan banyak mengunjungi siapa saja, mengobrol apa saja, mencatat apa saja, atau hanya mengamati apapun di tengah rutinitas harian warga saja. Dan dari waktu ke waktu hingga saya menemukan potongan-potongan cerita yang akan merangkai sendiri tentang makna dan logika-logika kebudayaan mereka.
itu tadi tentang surga di gunung sabokayan yang dilontarkan seseorang rupanya ada di mantra-mantra mereka yang juga nampak wujud gunung itu nyata di mata telanjang. “itu sabokayan, di kakinya itu bukit layang dimana investor mengaku punya hak untuk mengkonversinya dengan sawit” tutur Demung adat pemimpin adat tertinggi sambil menunjuk ke timur laut cakrawala. Sejarah lisan mereka adalah kekuatan penyeimbang atau bisa saja mementahkan klaim penguasa perkebunan tersebut. “dari tempat itu memutar ke sisi barat adalah tempat-tempat keramat kami” tuturnya lagi dengan penuh ketegasan.
Saya berkutat menyambungkan potongan tuturan,pengamatan, asumsi, dan keluhan, untuk menjadi sebuah cerita yang paling dekat mendekati kebenaran. Ah itu siapa di teras rumah tinggi, duduk bersila mengelilingi sesuatu, mengangguk dan ketawa penuh arti, “Pak ranggo, noeklah ke pucuk, mari beromong dengan kami,” Itu tadi ajakan naik ke rumah mengajak bercakap-cakap tentang adat dengan saya. Sedangkan pak Ranggo adalah nama gelar yang diberikan warga buat saya : Pak Ranggo ini katanya nama orang dulu yang pernah hidup dan selalu didengar ceritanya dan rajin mencatat. Entah catatan apa, yang pasti bukan catatan etnografi karena Pak Ranggo ini sudah pasti bukan dosen atau mahasiswa antropologi.
Naiklah saya, tanpa asalamualaikum, karena mereka bukan muslim, tapi masyarakat penganut katolik yang masih memegang adat leluhur. “ah, lah apo way?” tutur saya menanyakan sedang berbuat apa mereka ini, “cah ado pak ranggo, kami niin sedang beromong masa depan, mari pak ranggo ini tuak enak” mereka jawab tak ada apa-apa, katanya sedang berdiskusi masa depan, dan tentunya adat sedang berlangsung pada mereka ini : minum tuak.
Sore memang penuh informasi dan hangat, warga dayak ini selalu menyempatkan diri guyub bersama seisi kampung membicarakan apapun dan merencanakan apapun tanpa lupa pada kearifan hasil bumi mereka : minum tuak dan beromong. Pagi mereka noreh karet, setengah hari kerja dapatlah 20 kiloan getah, yang kalau diuangkan ke toke, kalikan saja 8 ribu, ah senangnya, dapat 160 ribu sehari, tanpa harus kerja seharian. Sambil pulang noreh karet mereka membawa sayuran ataupun lauk yang dibawa gratis dari lakau (ladang) atau disepanjang hutan sambil lalu menuju kampung.
Pantaslah janji investor sawit mereka tolak, karena sawit akan merenggut waktu luang mereka yang penuh keberlimpahan. Atau liat ikan di sungainya, sore kemaren pak langga dapat 9 ekor ikan aneka macam sebesar kepalan Mike Tyson hanya setengah jam pasang pukat saat banjir di anak sungai kebuai. Sayang pemilik kepalan itu kini tinggal jauh di Amerika sana, katanya sih sudah tak bertinju lagi, apakah Mike Tyson pun senang ikan? Sebesar kepalan siapa bila Mike Tyson masang pukat? Jawabannya bukan urusan saya, itu urusan etnografer amerika sana.
Malam biasanya saya kongkow di teras rumah singgah Pak Imus (heronimus hasil), ia orang baik, saya menumpang padanya yang anaknya paling kecil kerap ngajar bahasa lokal pada saya : putra namanya, hobbynya sarapan ceplok telor pake kecap, kata ibunya.
“ beriak ke suun way di ai” tutur putra mengajarkan saya tentang kemana saya harus beol dan ia mengajarkan bahwa beol itu enaknya di sungai. Yah memang enaknya di sungai, memandang alam sekitar dan gemericik air, sambil mengepulkan asap rokok, dan tahulah kiranya bahwa jongkok di sungai adalah arif secara ekologis karena ia cara terbaik saat alam menguraikan semua limbah. “srett,srett, plung” maka habislah riwayat mu sang kuning ditelan mulut-mulut ikan di sungai.
Uwekkkkkks .. saya menandai hari itu atas nikmat penuh rahmat, dari alam kembali ke alam, dari perut ke mulut sang ikan. Hai sang ikan siapakah engkau yang tak akan ku sikat dihidangan bila kau di dapat oleh pukat siapapun di kampung ini?
Lalu malam pun tiba, saya coba mengingat-ingat setiap pecakapan dan penglihatan, mencatatnya, dan berdoa ditemani senyum-mu di dompet ini : tuhan buatlah jembatan kekuatan agar kalimantan ini besok hari tiba-tiba menghubungkan aku dengan tanah di sabrang sana di bahu jalan panjang, RT 006/RW04, Cipulir, Jakarta Selatan.
Demikianlah