Rumah makan Huongvy terletak di jalan Pham Ngu Lao. Tempat ini paling sering dikunjungi bila ke Saigon (Ho Chi Minh City). Selain buka 24 jam dengan wifi yang kencang, tempatnya pun tak terlalu jauh dari biasanya kawanan kita menginap. Di sebuah gang diantara jalan Pham Ngu Lao dan Bui Vien berderet hotel murah dan room for rent tempat mereka biasanya menginap. Dari situ rumah makan Huongvy hanya sepelemparan batu. Selain itu -seperti bisa diduga- harga menunya lebih terjangkau dibanding restaurant atau café lain, konsisten dengan interior dan service-nya yang lebih tradisional.
Namun semua itu membuat Ho Chi Minh menjadi terlalu nyaman untuk memulai petualangan-petualangan yang mendebarkan. Ho Chi Minh atau Saigon adalah sebuah kota untuk “pulang”. Bukan untuk pergi memulai petualangan.
“Pindah tempat nangkring na yu tong di Saigon wae,” ujar Bar suatu ketika.
“Kamana..ka café hareup?” Dudung belum mengerti.
“His, lain… ka Bangkok,” Bar memperjelas maksudnya
“Uhuk..uhuk!” Dudung tersedak, “rek naon kaditu..?” tanyanya.
Dudung selalu skeptis pada destinasi baru, namun pada akhirnya selalu ikut juga.
Logikanya sederhana saja, Bangkok termasuk hub transport utama di Asia Tenggara. Hal ini tentu memudahkan pergerakan mereka untuk travelling dibanding dari Ho Chi Minh di Vietnam. Lagipula terdapat penerbangan langsung Jakarta-Bangkok dari berbagai maskapai budget, dibanding ke Vietnam yang harus transit. Perjalanan darat ke negara-negara Indochina lainnya juga lebih mudah dicapai dari Bangkok. Biaya hidup di kota ini juga cukup murah.
Beberapa tahun kemudian obrolan ngacapruk tentang bergeser ke Bangkok menjadi kenyatan. Tour-tour darat ke kota-kota di Thailand Utara, Laos, Kamboja dan penerbangan ke Myanmar dimulai dari Bangkok. Menerobos ke China pun mengambil ancang-ancang darisini. Bila disebutkan bahwa petualangan dimulai dari kota Bangkok, barangkali tak terlalu salah. Kota metropolitan itu kembali akan menjadi saksi sebuah perjalanan panjang yang entah berakhir kapan.