Melongok Canton Fair

bbm__1414752381641Canton Fair adalah pameran perdagangan yang diselenggarakan pada musim semi dan musim gugur musim setiap tahun sejak musim semi tahun 1957 di Canton (Guangzhou), China.  Bar dan Dudung datang ke Guangzhou bertepatan dengan berlangsungnya kemeriahan pameran ini. Sengaja mereka memilih waktu yang bersamaan dengan acara Canton fair, selain ingin melihat-lihat, juga karena tak tahu akan kemana kala berada di kota terbesar ketiga di China ini. Ini seperti quantum leap, karena menginjak Jakarta Fair saja mereka belum pernah.

Pesawat Garuda yang mereka tumpangi mendarat sekitar pukul dua siang di bandara internasional Baiyun, Guangzhou.

“Make Garuda mah teu karasa penerbangan opat jam oge,” ujar Bar puas.

“Enya, teu kawas make AirAsia cengo transit di KL,” sambut Dunga menyatakan persetujuannya.

Wah, keren sekali backpakeran pake Garuda kedua kawan kita ini ya, padahal biasanya bergelantungan di maskapai budget seperti AirAsia dan Tiger Airways. Tak disengaja sebetulnya, saat telah memutuskan akan bertolak ke Guangzhou tiket pp AirAsia adalah seharga 4,3 juta. Dunga mengusulkan membeli tiket Garuda saja yang kebetulan sedang promo degan harga 5,3jt. Masuk akal, karena bila menggunakan AirAsia pasti transit di Kuala Lumpur sekitar 5 jam, dan baru tiba sekitar pukul sembilan malam. Ketibaan malam hari di negeri orang yang belum terlalu familiar tentu kurang mereka sukai sehingga pilihan ini sepertinya lebih cocok. Lagipula lumayan menghemat makan sekali.

Dari bandara Baiyun mereka bergegas menuju ke Pazhou, tempat diadakannya Canton Fair. Kini yang lebih penting adalah menemukan penginapan yang sudah dipesan Dunga di web HostelBooker. Ini pun ternyata tak begitu saja mudah ditemukan, karena penginapan terletak di lantai delapan sebuah gedung apartemenrumah susun. Kamar 803 tepatnya. Bila orang-orang bisa memahami sedikit bahasa Inggris saja, mungkin tak akan memakan waktu lama menemukannya.

“Mun teu kapanggih mah sare di taman we lah,”pasrah Dunga memberikan usulnya yang sering tergolong ekstrim itu. Bar menolak mentah-mentah ide itu. Memangna urang pot kembang, pikirnya.

Setelah dengan penuh perjuangan, akhirnya dormitory misterius itu mereka temukan juga. Hari ini keduanya menghabiskan waktu beristirahat, sambil ormed ke sekeliling komplek. Esoknya barulah mereka kasak-kusuk mencari informasi untuk bisa menghadiri even kolosal itu. Selidik punya selidik ternyata tidak gratis, harus registrasi dengan persyaratan membawa kartu nama, pas foto dan biaya pendaftaran sebesar 100 CNY (sekitar Rp 200,000). Selain menyertakan identitas paspor tentu saja.

Mereka sempat tercenung, karena tak membawa persyaratan yang diperlukan. Yah, nasi sudah menjadi buryam karena kemalasan untuk browsing informasi dan terbiasa grasak-grusuk saat bepergian. Jumping into the unknown ^_^

“Cabut we foto tina visa,” Bar tak ragu mencongkel foto visanya. Lalu mereka memeriksa dompetnya masing-masing, siapa tahu masih ada kartu nama terselip.

“Aya…” kata Bar lega,”tapi ngan hiji euy..”
Ternyata masih ada kartu nama jadul, sayang dompet Dunga tak memunculkan keajaiban serupa.

“Euweuh euy..jigana dina dompet hiji deui teu kabawa,” keluh Dunga ,“engke pas pendaftaran bejakeun we hiji kartu nama keur duaan.”

Sebelum masuk mereka mengisi semacam formulir, lalu kartu nama dan foto dijepret pada formulir itu. Apabila tak membawa foto ternyata ada sesi pemotretan, tentu dengan biaya tambahan. Kekurangan katu nama pada formulir Dunga ternyata bisa dimaklumi oleh petugas registrasi, sehingga akhirnya tercetaklah boarding pass untuk memasuki pameran. Merekapun lega.