“Tata Dunia Baru” Pasar Ransel Outdoor di Indonesia

Dulu carrier yang berkualitas yahud masihlah jarang, amat susah mendapat akses ransel branded dari luar negeri. Kalaupun ada harganya sering tak terjangkau para backpackere. Namun kondisi itu kurang tercermin di sekretariat, dimana carrier merk tersohor seliweran biarpun saling pinjam. Saya masih ingat tahun ’94 memanggul Lafuma ke Latimojong, Karrimor ke Kerinci ’95 lalu Berghaus saat ke Raung-Argopuro. Tentu saja semuanya pinjaman hehe, kecuali daypack Lowe lusuh yang dipakai sehari-hari.

Tentunya itu semua bukan tanpa alasan, sebagai pegiat yang aktif saya sudah merasakan kualitas produk domestik kala itu. Ransel Eiger rontok di Sulawesi, Jayagiri jebol di Ujungkulon, Alpina almarhum di Papua, juga merk-merk lain yang marak masa 90-an semisal Verdon, putus tali saat berlari turun dari Lawu.

Walau tentu saja ada unsur stylish juga disitu hehe.

“Maenya ari parahu Avon tapi ransel ti Jatayu, ” celetuk seorang teman.

Eh dipikir-pikir betul juga, biarpun Avon nya juga bocor dan dayungnya masih dari kayu kalo merek ransel kurang gagah jadinya agak jomplang nih hehe. Kurang gaya dong kita..

Tentu kita bisa maklum karena kala itu industri ransel baru menggeliat dan belum mampu memenuhi tuntutan kualitas dari pegiat petualangan yang aktif. Merk Jayagiri memang sudah ada sejak ’78 namun seperti tak serius hingga muncul sempalannya Alpina sekitar ’85. Pebisnis Eiger menyusul ditahun ’89 seterusnya Avtech ’91dan Consina 2001 yang keduanya berangkat dari pegiat seperti juga Alpina. Juga Rei eh salah Arei (hehe) konon didirikan 2005 tapi mungkin baru sepuluh tahun kemudian dikenal publik. Banyak merek lain juga bertebaran seperti Boogie, Giant, Cartenz dll tapi sekitar itulah sejarah kasarnya.

Selain brand lokal yang saling berebut pasar, masuk juga brand ternama seperti Deuter yang dipasarkan toko Tandike. Segelintir brand luar juga dipasarkan oleh beberapa toko namun karena harganya yang tinggi tidak terlalu mengganggu pasar. Juga ada yang sporadis memasarkan merek The North Face hasil bocoran pabrik atau membuatnya sendiri dengan meniru model aslinya. Teknik hit and run ini hanya membuat ceruk mikro di pasar.

Namun sejak 2011 dunia ransel outdoor di tanah air guncang dengan merembes masuknya merk-merk branded yang terjangkau. Pasar kontraksi hebat dan debat panas di Kaskus antar konsumen yang mulai melek merk global. Bila konsumen giat berdebat, produsen geram berikut panik, beberapa dengan berbagai cara coba menghadang serbuan barang dari luar ini, terutama dari Vietnam. Hasilnya nol, tak ada gunanya melawan pasar yang berkekuatan seperti black hole.

Merk asing seperti Jack Wolfskin, 5.11 , Quechua, Millet, Osprey dan sebagainya yang baru terdengar disini, masuk deras bersama merk yang sudah familiar seperti Deuter dan The North Face. Legiun brand luar masuk seperti tsunami dan didukung geliat market place tak siapapun yang bisa menghadangnya.

Bisa dibilang Jack Wolfskin termasuk brand yang paling awal menggebrak bahkan menjadi market killer pasar yang ada. Beragam kategori dilayani brand asal Jerman ini dengan tipe yang langsung disuka pasar : carrier dengan tipe Denali, semi carrier ada Highland trail atau Mountaineer dan daypack tersedia Moab, Fastrack dan sebagainya.

Brand-brand lain seperti Millet, Berghaus dll segera menyusul masuk hingga perlahan kepopuleran JW memasuki masa jenuh, namun selama beberapa tahun pasar tak akan pernah lupa perkasanya JW yang mendapatkan momentum dari kurang inspiratifnya model brand lokal.

Masuknya brand luar disertai makin gencarnya e-commerce alias market place, menjadi momok pasar outdoor konvensional. Para pemain besar kala itu yang merasa berada di zona nyaman gagal mengantisipasi. Bahkan pemimpin pasar seperti Eiger dipaksa koprol merubah strateginya bila tak ingin keterusan sempoyongan seperti toko flagship andalannya Outlive di bilangan Setiabudi, Bandung yang akhirnya karam seperti kapal induk Jepang Yamato dalam pertempuran Midway.

Berbeda dengan pasar konvensional yang dikuasai pemain besar, dalam pasar yang baru pemain kelas UMKM mendapat porsi yang besar. Mereka bisa bergerak lincah di market place tanpa terikat berbagai legalitas. Brand-brand lokal penguasa pasar yang didominasi pemodal besar kini kalah taring dengan UMKM kelas ecek-ecek yang kini dimudahkan punya link ke brand luar.

Walau pasar berubah, brand lokal tetap akan memiliki segmen yang besar di pasar karena harga yang lebih murah. Mereka juga telah berusaha keras meningkatkan kualitas produknya sehingga kita bisa optimis tetap bisa tumbuh.

Namun bila bicara fashion tentu mereka harus bersikap rendah hati.. yep, reality bites. Lihat saja di tempat-tempat yang populer seperti Alun-alun Suryakencana, danau Ranu Kumbolo atau Segara Anak yang tak ubahnya catwalk brand-brand luar yang kuat seperti Osprey, TNF, JW dan sebagainya. Bahkan penguasa pasar lokal katakanlah Eiger akan seperti mengusung misi bunuh diri bila ingin menyaingi kekuatan brand equity global dari REI atau Patagonia misalnya.

Maha benar Osprey dengan segala torsonya

@bayubhar