Dari Terminal Bayangan ke Hub Internasional

Fig-2---Changi-Airport-(Night)-sqPada awal petualangan di tahun 1992, kala semua masih imut-imut, mengenal terminal-terminal bus –baik resmi atau bayangan- dan stasiun kereta adalah hal yang wajib. Wawan misalnya, hapal sekali keberangkatan kereta ekonomi “Badra Surya” dari stasiun Kiaracondong ke Yogya atau Gubeng. Kereta ekonomi itulah yang mengantarkan kawanan marhaenis menjelajah ke Timur. Terminal-terminal bis juga tak ketinggalan dierami bila tak ada tempat menginap di kota tujuan mulai dari terminal bayangan di Sungai Penuh, Jambi hingga Dompu di Sumbawa.

“Wan, engke di Malang meuting na dimana?” tanya Bar pertamakali trip ke Jawa Timur.

“Gampang, mun teu di stasion Malang di Arjosari we,” jawab Wawan.

“Arjosari teh ngaran penginapan?”

“Lain, eta terminal bis.”

“Tiris atuh?”

“Nya enya, tapi kalem aya sarung-bag.”

Ketika itu sleeping-bag masih barang yang mewah untuk bertualang, jadi menuju ketinggian Semeru pun bermodalkan sarung. Istilah sarung bag pun mulai menjadi hits.

 

Tak pernah terbayangkan samasekali bahwa arus petualangan akan menyeret para petualang yang kini kurang macho ini jauh ke seberang lautan. Mengapa kurang maok combro, eh macho? Karena kini mereka tak lagi berkutat dengan kontur alam yang ekstrim seperti gunung yang menjulang. Lebih sering kini mereka berkelana dari kota menuju kota lainnya di belahan negara yang beragam.

“Geus cape gugunungan ayeuna mah,” gumam Bar.
“Barenage ti baheula tara gugunungan urang mah..tapi ka guha” timpal legenda caving, el Dunga.

“Komo urang…biasa ngamanuk” ujar Bais yang tak pernah meninggalkan ruangan sekret.

Tapi itulah yang terjadi, mereka seperti sedang berdiri di pesisir pantai, tak bergerak namun terdorong dengan sendirinya oleh ombak ke arah lautan. Alam seperti berkonspirasi menyeret dengan paksa menuju negara-negara lain. Lalu pada satu titik, ketaksiapan dan ketaksigapan untuk go international itu membawa kecanggungan, rasa gelisah, kelucuan dan cultural shock, yang mesti dihadapi dengan berani, tanpa pilihan untuk menghindar. Banyak kegagapan ketika pasukan tanpa pilihan ini berbenturan dengan beragam pola interaksi yang dituntut dalam pergaulan internasional. Wawan cemas akan keberadaan toilet jongkok, Dunga cemas mencari wifi, Dodi cemas ketersediaan smoking room dan sebagainya.

Pertemuan awal mereka dengan pintu gerbang dunia adalah bandar-bandar udara internasional, padahal bandara domestik saja kerap masih tergagap. Bandara Changi di Singapura adalah sebuah gerbang yang besar dan merupakan salah satu hub transportasi utama di Asia. Tempat ini terhubung ke 280 kota di dunia, lebih dari 100 maskapai beroperasi disini, dengan 7.000 penerbangan setiap minggunya atau sekitar satu pesawat tinggal landas setiap 90 detik. Sangat wajar bila Changi didaulat sebagai bandara tersibuk ke-5 di dunia. Dari sinilah perjalanan-perjalanan para pejalan yang cemas itu kerap dimulai. Inilah hub transportasi di benua Asia.

Bandara Changi awalnya seperti gerbang Mordor yang menakutkan. Semua beringsut maju dengan takut-takut didorong oleh keterpaksaan. Tentu saja, dibanding bandara Husen Sastranegara, Bandung yang hanya sepelemparan batu dari pasar Ciroyom yang becek, bandara Changi tampak terlalu agung dan mencemaskan. Pasar Ciroyom tentu sangat mereka kenal, karena dulu sering mencari barang-barang murah di Jatayu.

Milisi budget ini kerap terdampar di Changi karena penerbangan mereka selanjutnya pada pagi hari bahkan subuh sebelum ayam berkokok. Itulah konsekwensi jadwal flight pesawat yang tiketnya promo, sehingga pilihannya antara menginap di hotel kota Singapura atau tarpak di bandara.

“Mun aya kandang hayam di dieu, keun ku urang dihudangkeun hayam na,” seloroh Wawan yang pasrah harus flight jam lima subuh.

“Aya oge di KFC hayam na, tapi acan buka mun subuh mah,” ujar Dunga.

 

Setelah berkenalan dengan bandara Changi, pelan-pelan mereka mulai mengenal bandara-bandara lainnya di region Asia Tenggara dan sekitarnya. Bahkan lama-kelamaan hapal juga kode bandaranya, seperti CGK (Soekarno-hatta), SIN (Changi), BKK (Suvarnabhumi), SGN (Than So Nhat), CAN (Baiyun), KUL (Kuala Lumpur), DMK (Don Mueang) dan sebagainya. Beberapa memberi kesan mendalam dihati, seperti Dunga yang tak bisa tidur saat membeku di bandara Hong Kong (HKG) karena saat itu sedang musim dingin. Brrr…aing bisa meunang frostbite kieu mah, gerutunya sambil menyesali lupa bawa sarung bag. Sebagian besar bandara-bandara itu memang pernah diinapi karena menunggu penerbangan selanjutnya atau demi menghemat uang akomodasi.

 

“Anu urang heran mah..” gumam Bar suatu saat,” naha Cengkareng jadi CGK tapi ari Bandung jadi BDO. Kuduna mah pan kode na CRY.”

“Naon CRY teh?” tanya Bais.

“Ciroyom,” jawab Bar. Gubrak

“Jrit..garing..” ujar Bais kesal,” terus urang kudu ngomong w-o-w ?”

“Enya..bari koproll,”.